Mataram, Gatra.com- Larangan penyandang disabilitas menjadi kandidat kepala daerah (Pilkada) merupakan tindakan diskriminatif. Hal ini tercantum dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No.231/PL.03.1-Kpt/06/KPU/XII/2017 mengenai Petunjuk Teknis Standar Kemampuan Jasmani dan Rohani serta Standar Pemeriksaan Kesehatan Jasmani, Rohani, dan Bebas Penyalahgunaan Narkotika dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Wali kota.
Menanggapi peraturan tersebut, Direktur Lembaga Kajian Sosial dan Pilitik (M16) Mataram, Bambang Mei Finarwanto menuturkan ketidaksetujuannya terhadap bunyi Pasal 7 Keputusan KPU tersebut. Surat itu menyebutkan, calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota harus memenuhi persyaratan mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika berdasarkan pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim.
“Setiap warga negara berhak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum termasuk Pilkada, termasuk penyandang disabilitas. Saya tidak sependapat dengan keputusan KPU yang menganggap kalangan disabilitas masuk dalam kategori tidak memiliki kemampuan jasmani dan rohani. [Terutama] dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai kepala daerah,” katanya kepada Gatra.com di Mataram, Rabu (9/10).
Oleh karena itu, pihaknya mendorong penyandang disabilitas memiliki kesempatan sama untuk maju dalam kontestasi Pilkada di sejumlah kabupaten dan kota di Nusa Tenggara Barat (NTB), maupun Indonesia secara umum.
"Mereka sebagai penyandang disabilitas bukan karena kemauannya. Mereka seharusnya diberi ruang dan didorong sekaligus diberi kepercayaan dan kesempatan untuk tampil dalam konstestasi pilkada serentak," ujar mantan Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB ini.
Didu panggilan akrabnya menambahkan, banyak penyandang disabilitas yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi kepala daerah. Didu menilai, keberpihakan dan kesetaraan menjadi kunci utama dalam memberikan ruang politik dan kesempatan kepada penyandang disabilitas. Khususnya untuk maju dalam kontestasi pilkada serentak 2020.
Ia mengatakan, persyaratan calon yang sehat jasmani dan rohani, harus ditafsirkan secara luas dan holistik. Oleh karena itu, Didu mengkritik, anggapan penyandang disabilitas tidak sehat dan sakit.
"Paradigma pemikiran yang stigmatisasi dan diskriminatif seperti ini harus diubah. Cara pandang partisan hanya akan mendelegitimasi kemampuan dan kapasitas penyandang disabilitas," ujarnya.
Dikatakan Didu, banyak penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan dan kapasitas di atas rata-rata dan memiliki gagasan menarik dalam membangun kota. Selama ini, terutama dalam kontestasi Pilkada, penyandang disabiltas kerap dipandang sebelah mata. KPU tidak memiliki kemauan untuk mendorong dan menampilkan kaum disabilitas maju dalam konstestasi Pilkada.
"Selama ini, kaum disabiltas hanya diberikan ruang sebatas pertimbangan belas kasihan dan sifatnya pinggiran, hanya menjalankan peran kewajibannya. Tidak ada kemauan yang sungguh-sungguh mendorong dan menampilkan kaum disabilitas maju sebagai calon pemimpin di konstestasi pilkada," paparnya.
Ia menambahkan, "Ketika Allah SWT memberikan ujian atau cobaan kepada kaumnya dalam ketidaksempurnaan ataupun kelemahan fisik dibanding umat lainnya, maka sesungguhnya Allah SWT senantiasa akan menjaganya dan memberikan kelebihan di sisi lain. Itu hukumnya wajib bukan sunnah," tutupnya.