Home Politik Petani Sawit Terjebak dengan Kesalahan Masa Lalu

Petani Sawit Terjebak dengan Kesalahan Masa Lalu

Medan, Gatra.com - Persoalan lahan petani sawit yang disebut berada di kawasan hutan dituding karena kesalahan masa lalu saat penetapan pemberlakuan penetapan kawasan. Penetapan kawasan hutan pada waktu lampau tidak melihat bentuk lahan yang ditetapkan namun hanya memenuhi ketentuan 30% hutan disetiap daerah.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung mengharapkan pemerintah segera membebaskan lahan pertanian warga yang dinyatakan masuk kawasan hutan. Karena menurut Gulat penetapan itu dilakukan secara sporadis serta mengabaikan aspek kehidupan warga yang bersumber dari lahan tersebut.

Baca Juga: Redam Karhutla Pemprov Riau Lakukan Pengadaan Alat Berat

"Kalau kita melihat waktu yang lampau tidak ada ketegasan hutan pada masa itu. Sementara saat ini setelah dikelola menjadi sawit dengan ketergantungan ekonomi 100 per 100 makan harus dibebaskan. Pemerintah harus mengeluarkan dari kawasan hutan, " jelasnya di Medan, Rabu (9/10).

Gulat mengatakan bahwa banyak petani membeli lahan tersebut sebelum ditetapkan sebagai hutan. Sementara sudah dikelola dengan baik dan berkontribusi untuk perekonomian masyarakat maupun negara.

Baca Juga: Petani Sawit, Petani Milenial

Gulat mencontohkan saat ini sedikitnya 56% lahan di Riau yang dikelola petani dinyatakan masuk kawasan hutan. Jika dirinci 56% sekitar 1,4 juta hektare. Apabila masing - masing petani mengelola 4 hektare makan lebih dari 200 ribu petani berada di kawasan hutan.

"Itu di Riau, kalau Indonesia secara keseluruhan ada sekitar 38%. Angka ini cukup tinggi dan sangat mengkhawatirkan para petani. Terlebih setelah ada regulasi penolakan pembelian hasil panen sawit dari lahan yang disebut kawasan hutan, " tambahnya.

Baca Juga: Apkasindo: Jangan Bikin Petani Sawit Kelinci Percobaanlah

Gulat mengharapkan pemerintah segera membebaskan lahan pertanian sawit warga. Karena tidak ada kerugian negara dengan pembebasan lahan tersebut. "Yang dibutuhkan untuk pembebasan lahan itu hanya printer dan bantal stempel. Ditetapkan dan dibebaskan, " katanya.

Senada dengannya, ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Apkasindo Sumut, Gus Dalhari Harahap mengatakan bahwa banyak aturan yang timpang tindih. Contohnya lahan warga yang sudah bersertifikat sekalipun ditetapkan kementerian sebagai kawasan hutan. Padahal kawasan itu sudah dikelola secara turun temurun.

Baca Juga: Tekad Menyelamatkan Sawit Dari Bina Graha

Contohnya di daerah Tapanuli bagian selatan yang dikelola sebagai lahan sawit masuk sebagai kawasan hutan. "Termasuk lahan yang sudah bersertifikat. Padahal simbol negara disertifikat itu sama - sama garuda. Ini sangat memprihatinkan," Jelasnya.

Hal lain yang menurut Harahap sangat memprihatinkan pemekaran wilayah tidak disertai perubahan kawasan. Contohnya di Tapanuli bagian selatan yang dulu satu kabupaten dan sekarang menjadi beberapa kabupaten. Sementara penetapan hutan juga tidak dirubah. Bahkan kantor kepala daerah masuk menjadi kawasan hutan.

Baca Juga: Apkasindo Berharap Citra Sawit Tetap Positif

"Berarti penetapan dengan sejumlah kebijakan diwaktu lalu dilakukan tidak benar. Ketentuan 30% hutan membingungkan. Bahkan untuk memenuhi kuota 30% kampung warga yang sudah ditempati jauh sebelum zaman kolonial juga masuk, " tambahnya.

Reporter: Baringin Lumban Gaol

711