Jakarta, Gatra.com - Dua dekade pascareformasi telah memunculkan perubahan-perubahan yang substansial dalam tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan hubungan sosial kemasyarakatannya. SETARA Institute mencatat, ada kemajuan dan stagnansi dalam reformasi TNI.
Dalam konteks internal TNI, reformasi ditandai dengan penghapusan Dwi Fungsi ABRI, hak politik prajurit, dan penghapusan Fraksi ABRI di Parlemen. Sementara, pada dimensi sosial kemasyarakatan misalnya, tidak ada lagi pengekangan kebebasan sipil yang biasa dilakukan aparat TNI ketika era Orde Baru (Orba). Meskipun demikian reformasi TNI setelah 20 tahun reformasi tetap tidak boleh berhenti.
"Apalagi mandat reformasi TNI yang tertuang dalam TAP MPR No. VII/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, belum sepenuhnya dijalankan," jelas Peneliti SETARA Institute, Ikhsan Yosarie dalam diskusi bertajuk "Jalan Sunyi Reformasi TNI" dalam rangka HUT TNI ke-74 di Jakarta, Selasa (8/10).
Baca Juga: Pengamat: Reformasi TNI Sudah Selesai, Tinggal Sisa Residu
Menurut dia, stagnansi perkembangan reformasi TNI tersebut khususnya dalam penyelesaian dan pertanggungjawaban hukum terhadap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang diduga melibatkan aparat TNI. Misalnya kekerasan terhadap jurnalis dan masyarakat sipil. Selain itu, poin yang disorot adalah masih kuatnya TNI yang tidak bisa diadili di peradilan umum.
Ikhsan menjelaskan, anggota TNI masih tunduk pada UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Aturan ini dinilai mengingkari mandat TAP MPR No. VII/MPR/2000 dan mandat Pasal 62 (2) UU 34/2004, yang mengamanatkan bahwa atas tindak pidana umum, maka anggota TNI juga diadili di peradilan umum. Itu merupakan manifestasi prinsip kesamaan di muka hukum (equality before the law).
Laporan dari SETARA terkait stagnansi reformasi, pada dekade pertama atau dari 1999-2009, tercatat terjadinya sejumlah kekerasan dan pelanggaran HAM. Semisal penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998, kerusuhan Mei 1998, Tragedi Semanggi I dan II, termasuk kekerasan di Timor Timor, Aceh, juga Papua.
Baca Juga: SETARA: Jokowi Lebih Manjakan Prajurit Ketimbang Modernisasi
"Dekade pertama dan kedua tidak pernah lepas dari kasus pelanggaran HAM. Beberapa lembaga merekam dengan baik kekerasan dan pelanggaran HAM. Sepanjang 1998, KontraS mencatat terjadi 59 kasus pelanggaran HAM. Sebanyak 47 di antaranya dilakukan oleh Angkatan Darat," paparnya.
Pada dekade kedua (2009-2019), terkait reformasi TNI pada dekade pertama, ternyata masih kurang mencatatkan hasil yang impresif. Pasalnya, narasi reformasi TNI lebih bersifat penegasan. Mulai dari pemberian instruksi, imbauan, dan evaluasi bahwa reformasi TNI masih berjalan ketimbang melakukan upaya-upaya penyelesaian kasus HAM masa lalu yang diduga melibatkan oknum-oknum militer. Tidak pula mendorong pembahasan revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang tengah mandek.
"Sampai Agustus 2000, jumlah pelanggaran sudah mencapai 63 kasus. Dari 207 kasus sejak 1998 hingga Agustus 2000 tersebut, AD telah melakukan pelanggaran HAM 131 kasus. Dalam rentang September 2003-Oktober 2004, KontraS mencatat TNI telah melakukan pelanggaran HAM sebanyak 128 kasus," sambungnya.
Baca Juga: Imparsial: TNI Masih Banyak Pekerjaan Rumah
Selain itu, pada dekade kedua, terdapat catatan stagnansi lainnya. Beberapa lembaga juga menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang melibatkan aparat militer masih terjadi. Komnas Perempuan mencatat ada 31 kasus kekerasan TNI terhadap perempuan sepanjang 2016. Di Jakarta, dalam catatan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, ada 57 persen kasus penggusuran paksa yang melibatkan aparat TNI sepanjang 2016.
"Dari 90 kasus penggusuran paksa, 53 kasus di antaranya mengerahkan aparat TNI. Pada 2015, sebanyak 65 dari 113 kasus penggusuran paksa melibatkan TNI," jelasnya.
Merujuk dari data KontraS sepanjang Agustus 2016-Agustus 2017, tercatat 138 tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan anggota TNI. Di antaranya mengakibatkan 15 orang meninggal, 124 luka-luka, 63 orang ditangkap secara sewenang-wenang, dan 65 peristiwa penganiayaan sipil.
Baca Juga: Investigasi Randi Libatkan Komnas HAM hingga Muhammadiyah
"Merujuk pada pelaku kekerasan, tercatat sebanyak 97 kasus dilakukan oleh TNI Angkatan Darat, 25 kasus oleh TNI Angkatan Udara, dan 16 kasus oleh TNI Angkatan Laut," kata Ikhsan.
Kategori pelanggaran kasus-kasus tersebut dapat digolongkan dalam bentuk: penganiayaan (65 kasus), bisnis keamanan (42 kasus), tindakan yang merendahkan martabat manusia (32 kasus), perusakan (16 kasus), penembakan (10 kasus), dan pendudukan (10 kasus).