Jakarta, Gatra.com - Pengamat Pertahanan Andi Widjajanto menyebutkan, ada dua strategi yakni benteng dan pendekatan mobility strategic untuk mengamankan ibu kota baru di Penajam Paser, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, apabila mendapat serangan atau ancaman dari luar atau dalam negeri.
Untuk strategi benteng, ibu kota baru bisa dibuat seperti benteng di abad 12 sehingga susah untuk diserang. Namun, menurut Andi, strategi ini cenderung tidak bisa digunakan karena terlalu kuno. Strategi yang lebih tepat untuk diterapkan adalah mobility strategic.
"Nah, Indonesia sebetulnya lebih ke pendekatan ini daripada benteng, karena pengalaman perang kita, ibu kota pernah pondah ke Bukittinggi. Ibu kota pernah pindah ke Jogja, Panglima Sudirman sendiri pernah mengendalikan perang gerilya, berpindah-pindah. Jadi strategic mobility-nya yang ditingkatkan," ujar Andi kepada wartawan di Jakarta, Senin (7/10).
Ia menilai, dari segi luas, Indonesia cocok untuk melakukan strategi ini atau yang secara militer disebut sebagai manuver dalam.
"Kita beda dengan Singapura yang enggak bisa pindah, kita beda dengan Swiss yang enggak bisa pindah. Di manapun ibu kota baru, lebih kepada ke strategic mobility-nya, di manapun ibu kota itu diputuskan untuk ditempatkan," ujar Andi.
Sebelumnya, banyak yang menyangsikan keamanan pertahanan ibu kota baru, karena berbatasan langsung dengan dua negara tetangga yakini Malaysia dan Brunei Darussalam serta langsung menghadap Laut Cina Selatan.
Andi menegaskan, penilaian ibu kota baru cukup rawan adalah pandangan kurang tepat. Menurutnya, apabila dibandingkan dengan Jakarta, potensi kerawanan yang dihadapi sama saja atau titik lain yang ada di Indonesia. Apabila ada kerawanan yang mengancam, bisa menggunakan dua konsep tersebut.