Jakarta, Gatra.com - Direktur Utama Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fachmi Idris memproyeksikan defisit pada 2019 adalah Rp32 triliun. Sedangkan di tahun sebelumnya, pada 2018, defisit BPJS mencapai 18,3 Triliun.
"Untuk tahun ini hingga akhir 2019, defisit diproyeksikan akan mencapai 32 Triliun rupiah. Sehingga butuh pembenahan ataupun kenaikan iuran BPJS dan mengatasi defisit yang diperkirakan pada 2019 ini," katanya saat ditemui dalam acara Forum Merdeka Barat (FMB) tentang Tarif Iuran BPJS di Kominfo, Jakarta Pusat, Senin (7/10).
Lanjutnya, kenaikan iuran BPJS ini dikarenakan defisit yang terjadi akibat banyaknya fraud dan tingkat kolektibilitas yang rendah. Sehingga, katanya, perlu ada langkah-langkah sebelum pada lima tahun mendatang diproyeksikan defisit hingga Rp77 triliun.
"Terkait dengan kenaikan iuran BPJS ini, kalau dihitung untuk kelas satu, kenaikan sampai Rp 5.000/hari, kelas dua sebesar Rp 3.000/hari, dan kelas tiga hanya Rp 1.800/hari. Tidak terlalu besar dan berat dimana bila terus dibayarkan, tidak hanya menjadi investasi kesehatan buat pemiliknya tetapi juga membantu yang sakit," tambahnya.
Sebagai informasi, kenaikan iuran BPJS Kesehatan direncanakan berlaku pada 1 Januari 2020 dan masih menunggu Peraturan Presiden yang belum keluar hingga saat ini. Untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI), iuran naik dari Rp23.000 menjadi Rp42.000 per jiwa. Sementara Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU)/Peserta Mandiri, kelas satu dari Rp80.000 menjadi Rp180.000/orang, kelas dua dari Rp51.000 menjadi Rp110.000/orang sedangkan kelas tiga dari Rp25.500 menjadi Rp42.000/orang.