Purbalingga, Gatra.com – Panglima Besar Jenderal Soedirman dikenal sebagai muslim yang taat. Bahkan, semasa perang gerilya, dalam kondisi sakit parah, ia tidak pernah meninggalkan salat lima waktu.
Kesaksikan itu diucapkan oleh salah satu pengawal kepercayaannya, Mayor (Purn) DR. Abu Arifin. Abu Arifin adalah Nasrani yang taat dan kini menjadi pendeta.
Abu Arifin kala itu tergabung dalam Kompi I Mobile Batalyon Polisi Militer. Meski hanya disebut batalyon, tetapi cikal bakal pasukan elite TNI ini dianggap setara dengan divisi.
“Sebab, saat itu komandannya Mayor Jenderal dan tugasnya berat, mengawal presiden, wakil presiden, dan panglima. Kami juga berperang,” kata Abu Arifin, mengenang.
Abu Arifin beragama Nasrani dan menjadi pendeta. Namun, ia menuturkan, Jenderal Soedirman adalah sosok yang mengagumkan. Ia begitu taat beragama.
Di tengah hutan, kerap kali mereka sulit menemukan mata air. Padahal, untuk menjalankan salat, Jenderal Soedirman perlu berwudlu. Maka, dalam berbagai kesempatan, sang Jenderal berwudlu dengan embun yang menempel di dedaunan.
Setiap waktu salat tiba, Jenderal Soedirman menghentikan aktivitasnya untuk beribadah. Dia bersaksi, tidak sekali pun Jenderal Soedirman meninggalkan salat lima waktu.
“Ini adalah mukjizat. Jenderal Soedirman dan pasukan berhasil bertahan dalam perang gerilya yang begitu panjang,” dia mengungkapkan.
Bahkan, menurut dia, banyak yang menganggap Jenderal Soedirman sakti lantaran selalu lolos dari sergapan Belanda. Namun, bagi Arifin, Tuhan lah yang melindungi sang Jenderal.
Ia merupakan seseorang yang berani, pantang menyerah, sekaligus tegas. Di sisi lain, ia adalah sosok bapak yang baik untuk anaknya, pasukan pengawal, dan TNI secara keseluruhan.
Oleh karena itu, para pengawal sangat menjaga keselamatan Jenderal Soedirman. Begitu pun dengan rakyat yang menyandarkan harapannya kepada Panglima TNI pertama ini.
Tujuh bulan setelah perang gerilya, Jenderal Soedirman pulang ke Yogyakarta pada Juli 2019. Ia wafat sebagai kusuma bangsa pada Januari 1950, tidak lama setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.
Arifin mengawal Jenderal Soedirman berperang gerilya selama tujuh bulan, sejak Desember 1948 hingga Juli 1949. Sepanjang waktu itu, ia dengan pasukan pengawal bergerilya menyusuri jalur pantai selatan, hingga Kediri.
Meski sedang sakit, Jenderal Soedirman tetap semangat berjuang mengalahkan rasa sakit dan tubuhnya yang lemah. Ia memimpin perang gerilya dari tandu yang diusung pasukan dan rakyat di setiap desa yang disinggahi.