Jakarta, GatraReview.com - Tol laut diharapkan mampu menghubungkan antarpulau dan mempererat korelasi ekonomi. Harus fokus pada upaya menjaga keseimbangan.
Indonesia memiliki wilayah laut yang luasnya mencapai 70% dari total luas wilayah. Anugerah ini menunjukkan potensi ekonomi maritim yang sangat besar. Tidak hanya pemanfaatan dan pelestarian sumber daya laut, tetapi juga kemudahan untuk saling terhubung sehingga tercipta integrasi akses ekonomi antarpulau. Di sisi lain, perlu paradigma baru dalam memandang laut sebagai penghubung, bukan pemisah antarpulau. Paradigma baru inilah yang melatarbelakangi gagasan tol laut.
Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Wisnu Handoko, mengatakan bahwa sejak dicanangkan pada 2015, tol laut menunjukkan perkembangan baik. Buktinya dapat dilihat dari jumlah pelabuhan yang disinggahi, kapal yang beroperasi, trayek rute yang dilayani, distribusi bahan pokok dan penting (bapokting), muatan balik, serta disparitas harga bapokting. “Ke depan, peran pelayaran swasta yang harus didorong dengan regulasi yang kondusif,” kata Wisnu kepada Mahmuda Attar dari Gatra review di Jakarta, medio Agustus lalu.
Pola subsidi tol laut hanya diberikan pada daerah atau rute yang belum komersial. Untuk daerah yang rutenya sudah bagus, pemerintah akan mengurangi subsidi pembangunan kapal baru atau pola capital expenditure (Capex). Sebagai gantinya, pemerintah memberikan subsidi operational expenditure (Opex), yakni swasta didorong menyediakan kapalnya. “Tentu dengan catatan insentif regulasi pembiayaan pembangunan atau pembelian kapal harus mendukung industri pelayaran dan galangan nasional,” ujar Wisnu.
Pentingnya Armada Tol Laut
Membangun tol laut tidak semudah membangun tol darat, sebab membangun tol laut urusan infrastruktur semata. Tujuan awal pembangunan tol laut adalah menekan disparitas ekonomi antarwilayah, utamanya antara Jawa dan luar Jawa. “Orientasi wacana [tol laut] yang berlangsung saat ini masih mengarah kepada tol laut pada aspek infrastruktur semata,” kata Raja Oloan Saut Gurning, pakar kemaritiman Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, kepada M. Almer dari Gatra review.
Menurut Saut, yang paling utama diperhatikan seharusnya aspek konektivitas dan keberlanjutan dalam mendukung usaha ekonomi masyarakat yang lebih riil. Misalnya, wilayah perikanan dan sumber daya kelautan, perkebunan, peternakan, pertambangan, serta usaha masyarakat lainnya di sektor riil, harus bisa berkoneksi dengan baik antarwilayah. Konektivitas ini sebagai bentuk kehadiran negara dalam menekan disparitas ekonomi regional antarwilayah, baik timur-barat maupun utara-selatan.
“Atau pusat ekonomi dengan wilayah-wilayah rural [perdesaan] yang mengalami kesulitan konektivitas dan aksesibilitas ekonomi,” ujar Saut.
Keberadaan tol laut diharapkan mampu memberi dampak langsung dalam pengendalian harga dan potensi komoditas unggulan daerah. Khususnya di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) Indonesia. Caranya, dengan penyediaan armada kapal laut yang membawa barang dari pusat ekonomi ke wilayah 3T melalui rute utama dan rute penghubung. Peran armada laut sangat krusial dalam usaha intervensi peningkatan konektivitas dari berbagai wilayah 3T.
Peningkatan konektivitas secara tidak langsung meningkatkan potensi ketersediaan barang di wilayah tersebut, karena penyediaan angkutan barang lebih terjadwal dan jelas rutenya (linear). Pada akhirnya, berdampak pada stabilitas harga dan potensi pengendalian harga atau inflasi barang di wilayah itu. Wilayah-wilayah rural, misalnya Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara, sebelumnya hanya memiliki konektivitas pada dua hingga tiga kota pelabuhan, seperti Ambon dan Ternate. Saat ini, Tobelo memiliki konektivitas ke lebih dari sepuluh lokasi kota pelabuhan. Kombinasi rute tol laut wilayah timur dan barat Indonesia melalui rute utama serta penghubung, merupakan kombinasi armada kapal tol laut itu sendiri.
Didukung armada perintis laut dan armada perintis penyeberangan. Keduanya selama ini sudah berjalan sebelum ada program tol laut. Dampak langsung dari pola operasi langsung ini, yaitu waktu kirim barang lebih cepat dan biaya pengiriman lebih murah, khususnya untuk biaya angkutan laut dan bongkar-muat di pelabuhan. Hal ini karena program tol laut menyubsidi biaya angkutan laut dan pelabuhan. Meski biaya logistiknya menurun, dalam banyak kasus, rute tetap menghadapi kendala dengan tingginya biaya pengiriman di jalur darat. Biaya penyimpanan di gudang pun tinggi jika volume barang yang diangkut relatif besar.
Dalam banyak rute, pengurangan biaya komoditas atau barang menurun dominan di atas 20%. Secara keseluruhan, menurut catatan Saut, program tol laut pada 2016-2018 berhasil mengangkut barang sekitar 180.000-230.000 ton atau rata-rata 200.000 ton per tahun, baik yang dimuat maupun yang dibongkar. Misalnya, jika dihitung dalam satuan kilogram, maka menjadi 200 juta kilogram. Jika harga barang per kilogram adalah Rp5.000, maka bangkitan ekonomi langsung yang dapat ditimbulkan sekitar Rp10 triliun.
Adapun stimulan atau subsidinya sekitar Rp2 triliun hingga Rp3 triliun per tahun, sehingga ada rasio peningkatan 4-5 kali. Dengan hitungan itu, Saut memperkirakan, besaran manfaat masih lebih banyak dirasakan operator kapal dan pelabuhan ketimbang dinikmati usaha ekonomi masyarakat. Program tol laut mendatang, harapannya tidak hanya berhenti pada usaha peningkatan konektivitas saja. Perlu ada tindakan nyata soal penurunan gap ekonomi lewat gap harga barang dan meningkatnya akses ekonomi daerah. Hal ini diperlukan, sehingga ada korelasi kuat antara program tol laut dan usaha riil ekonomi masyarakat yang menjadi indikator utama.
“Secara fundamental, program tol laut harus menjadi instrumen penjaga keseimbangan,” katanya.
Kurang Berkembang Baik
Ekonom senior Fasial Basri menilai program tol laut selama periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum mengurangi ongkos logistik secara signifikan.
"[Sebanyak] 90% perdagangan dunia lewat laut, Indonesia negara kepulauan hanya 10% lewat laut, 90% dari darat. Tol laut tidak memengaruhi ongkos logistik secara signifikan. Karena tol laut tidak membuat shifting dari darat ke laut,” kata Faisal dalam seminar Universitas Gadjah Mada UGM) Kampus Jakarta, April lalu seperti dilaporkan wartawan Gatra Wahyu Wachid Anshory
Menurutnya, itulah alasan mengapa harga barang lokal lebih mahal daripada produk impor di beberapa wilayah di Indonesia, khusunya di luar Pulau Jawa seperti di Sumatera serta wilayah timur Indonesia. “Apa yang membuat barang itu mahal? Bukan ongkos transportasi laut yang bikin mahal, tapi karena jadwal kapal enggak teratur. Kapal yang datang kecil karena pelabuhan dangkal tidak bisa disandari kapal yang besar. Jadi perusahan di sana harus menyetok inventory barang dagangan yang banyak,” ujar Faisal.
Komponen transportasi laut hanya sebesar 20-30%. Namu yang disalahka transportasi laut saat terjadi inflasi. Faisal mencontohkan Provinsi Maluku tahun 2017 yang dianggap penyumbang inflasi tertinggi di Indonesia pada bulan November. “ Kita tahu penyebab logistik mahal akibat dari kualitas pelayanan kita yang terbatas, mudah-mudahan kita bisa menyelesaikan sampai akarnya,” katanya.
Meski begitu, belum maksimalnya tol laut sebagai pengendali dinamika inflasi, dibantah pihak Kemenhub. Wisnu mengatakan, jika indikator berhasil atau tidaknya tol laut hanya dilihat dari disparitas harga semata, itu artinya sama saja mengesampingkan peningkatan jumlah wilayah yang bisa dijangkau saat ini dibandingkan sebelumnya. “Kelemahan memang masih ada, terutama pada keseluruhan biaya logistik dari end to end masih tinggi di beberapa tempat,” ucapnya.
Menurut Wisnu, masalah yang perlu dicermati tidak hanya biaya pelayaran yang saat ini disubsidi pemerintah, tetapi juga keterbatasan fasilitas pelabuhan, biaya tenaga kerja bongkar muat (TKBM), pengangkutan antarmoda (darat, udara, dan penyeberangan), serta sistem logistik yang belum digital. Akibatnya, transparansi biaya end to end belum dapat dikontrol sepenuhnya. Ini perlu terobosan pada program tol laut ke depan yang mengutamakan transportasi multimoda. Tidak dalam arti sempit, yang hanya membawa barang dari pelabuhan ke pelabuhan.
Kendala lain, aktivitas peti kemas meningkat, tetapi kapasitas pelabuhan, seperti dermaga dan alat bongkar muat, terbatas. Subsidi anggaran juga terbatas pada freight pelayaran, tidak di keseluruhan proses pengangkutan, sedangkan biaya logistik dihitung dari end to end. Artinya, dengan subsidi tol laut, pemerintah sudah membantu maksimal 25% biaya logistik.
“Belum lagi soal akses jalan pelabuhan ke pasar, gudang, sentra perdagangan, sistem transportasi logistik yang manual, door to door, dan lainlain,” ujar Wisnu.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Suhanto, menjelaskan bahwa tol laut merupakan cara mewujudkan konektivitas laut secara efektif melalui kapal yang berlayar secara rutin dan terjadwal dari barat sampai ke timur Indonesia. Tujuannya, meningkatkan kelancaran distribusi dan mengurangi disparitas harga di wilayah 3T. Pemerintah juga memberikan subsidi untuk biaya angkutan laut.
“Subsidi laut akan menurunkan biaya logistik, sehingga memengaruhi harga yang cukup signifikan,” katanya kepada Syah Deva dari Gatra review di Jakarta.
Mengutip hasil kajian Pusat Kajian Logistik Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2013, Suhanto mengungkapkan bahwa biaya logistik terdiri dari tiga komponen, yaitu biaya transportasi atau angkutan, biaya penyimpanan atau persediaan, dan biaya administrasi. Komponen biaya angkutan memberikan kontribusi terbesar (12,04% dari PDB), sedangkan komponen biaya administrasi memberikan kontribusi terendah (4,52% dari PDB). Adapun kontribusi biaya persediaan sebesar 9,47% dari PDB. Biaya angkutan didominasi oleh angkutan darat 72,21%, sedangkan angkutan kereta api memberikan kontribusi terendah, yaitu hanya 0,51%. Di sisi lain, biaya persediaan didominasi oleh biaya penyimpanan atau holding cost sebesar 49,37%.