Purwokerto, Gatra.com - Pembangunan Purwokerto City Center (PCC) di lahan eks Stasiun Timur Purwokerto, Jawa Tengah, menuai kritik dari pemerhati sejarah. Pasalnya, seluruh bangunan yang tersisa akan diratakan oleh pihak pelaksana proyek.
Dari penelusuran komunitas pemerhati sejarah Banjoemas History and Heritage Community (BHHC), nama Stasiun Timur disandang sejak tahun 1915 meski bangunan itu telah dibangun oleh Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS), perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda 21 tahun sebelumnya. Berdirinya stasiun ini bertujuan untuk memperlancar pengiriman komoditas gula ke Benua Eropa dan Amerika.
"Di karesidenan Banyumas ada Pabrik Gula (PG) Kalibagor yang dibangun tahun 1839, PG Bojong (1888), PG Klampok (1889) dan PG Kaliklawing (1891). JF de Ruyter de Wildt, Administrator PG Klampok, mengusulkan pembangunan jalur kereta api untuk mengamankan pasokan gula yang rusak di perjalanan karena proses pengiriman yang melewati sungai terlalu lama," ucap pegiat BHHC, Jatmiko Wicaksono, Kamis (3/10).
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Yogyakarta ini menyebutkan, tahun 1983 Pemerintah Belanda menyepakati konsensi dan operasi jalur kereta SDS dengan biaya kurang lebih f 1.500.00. Jalur pertama sepanjang 29 kilometer melintasi Maos-Rawalo-Panisinan-Tinggartugu-Glempong-Sidabowa-Tanjung dan Purwokerto.
Beroperasinya jalur kereta ini, kata dia, menandai pembangunan Stasiun Timur. Lokasinya terletak di Desa Kranji, yang berpusat di Paguwan dan Kota Lama di Pasar Wage Purwokerto.
Stasiun ini memiliki fasilitas lengkap dengan bengkel dan depo kereta, terminal bongkar muat, turntable, lima buah emplasemen, perkantoran, hotel, rumah administratur dan karyawan serta fasilitas olahraga dan taman. Jalur pertama juga menghubungkan stasiun dengan pabrik gula baru bernama Suikerfabriek Purwokerto. Belakangan, pabrik ini berubah pula menjadi pusat perbelanjaan.
"Pembangunan jalur terus berlanjut sampai tahap tiga tahun 1915 ke arah Banjarnegara sampai Selokromo Wonosobo. Saat itu jalur Staats Spoorwagon (SS) antara Cirebon Kroya juga melewati Kota Purwokerto. Sejak tahun 1917, Purwokerto punya dua stasiun yaitu milik SDS (Stasiun Timur dan milik SS (Stasiun Barat) yang masih aktif hingga saat ini," jelasnya.
Menurut Jatmiko, pada masa kemerdekaan, Stasiun Timur dibakar oleh tentara Republik Indonesia. Hampir 50 persen bangunan hancur tak bersisa. Akibatnya, Djawatan Kereta Api Indonesia, mulai fasilitas dan fungsinya.
Dalam kurun waktu 30 tahun, jalur KA Purwokerto-Wonosobo mengalami penurunan jumlah penumpang. Akhirnya, tahun 1980an, jalur ini dinonaktifkan dan dialihfungsikan sebagai emplasemen bongkar muat PT Pupuk Sriwijaya hingga tahun 2008. Meski tak aktif lagi, sisa bangunan masih terlihat jelas sampai sekarang.
"Sejarah panjang itu, akan segera hilang dengan hadirnya pusat pertokoan modern. Lagi-lagi warisan budaya dan sejarah Banyumas terancam akan hilang dan sulit ditelusuri lagi," kata dia.
Secara terpisah, Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Dinporabudpar) Kabupaten Banyumas, Asis Kusumandani, mengatakan bahwa pihak PT KA Properti Manajemen (KAPM) telah menyanggupi memasang pintu gudang lama di kawasan pertokoan baru. Hal ini sesuai saran dari Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah. Artinya, mereka tetap akan berupaya menyediakan ruang untuk memori masyarakat terhadap sejarah tersebut.
"Saran ini sudah kita sampaikan kepada pihak pelaksana pembangunan PCC yaitu PT KAPM. Mereka sudah menyanggupi [pintu gudang lama] untuk dipasang nantinya," katanya.