Jakarta, Gatra.com - Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur dilaporkan Analis Bina Artha Sekuritas, Nafan Aji masih berada di bawah angka 50. Angka tersebut menandakan bahwa sektor industri masih belum mampu melakukan ekspansi bisnis.
"Hal inilah merupakan indikasi bahwasanya perlambatan pertumbuhan ekonomi global merupakan sentimen negatif bagi kinerja pergerakan indeks," ujar Nafan saat dihubungi Gatra.com, Kamis (3/10).
Sementara itu, Direkur Riset Center of Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah menjelaskan bahwa PMI manufaktur adalah indikator ekonomi yang mencerminkan keyakinan para manajer bisnis manufaktur.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Rentan Rendah Hanya 4,8%
"Jadi, pada Agustus 2019, indeksnya [PMI] berada di angka 49. Kalau, angka indeksnya di bawah 50, maka menunjukkan ketidakyakinan para manajer bisnis. Sekaligus pula mengidentifikasikan untuk menurunkan usahanya," ucapnya.
Ketidakyakinan tersebut, jelas Piter dikarenakan oleh ketidakpastian kondisi ekonomi untuk ke depan. Sehingga, mempengaruhi rencana bisnis mereka. Meski dia tak menampik bahwa kondisi global dan domestik juga menjadi faktor yang berpengaruh.
Tantangan global ialah terkait perang dagang Amerika Serikat (AS)-Cina, Brexit, gelombang resesi, dan perang yang terjadi di Timur Tengah. Sementara faktor domestik yakni current account deficit (CAD), melemahnya permintaan barang komoditas yang menekan ekspor, dan persoalan ketegangan politik.
Baca Juga: AS-Jepang Lakukan Kesepakatan Dagang Baru
Oleh karena itu, guna meningkatkan PMI, Piter menyarankan untuk diperkuatnya sinergi kebijkan moneter, fiskal, maupun sektor rill oleh pemerintah.
"Kebijakan moneter dan fiskal hendaknya lebih dilonggarkan untuk meningkatkan domestik. Sementara untuk sektor rill, pemerintah perlu melakukan banyak deregulasi terkait kemudahan berusaha," sarannya.