Jakarta, Gatra.com - Ketua dan pendiri Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST), Marzuki Darusman, menyebut bahwa kesehatan merupakan hak bagi semua orang. Namun, dalam mewujudkannya tidak mudah, banyak tantangan dihadapi apalagi terus meningkatnya epidemi global seperti Penyakit Tidak Menular (PTM), di antaranya stroke, hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis.
“PTM menyebabkan sekitar 41 juta kematian di dunia setiap tahunnya dan merupakan penyebab utama kematian di dunia saat ini. PTM memengaruhi semua orang, negara berpendapatan menengah ke bawah atau low-middle income countries (LMICs) seperti Indonesia, yang telah menanggung beban terbesar dengan sekitar 28 juta kematian, setiap tahunnya akibat PTM,” kata Marzuki dalam Seminar di Hotel Ashley, Jakarta Pusat, Kamis (3/10).
Marzuki mengatakan, kondisi layanan kesehatan saat ini umumnya masih bersifat reaktif. Bahkan, seringkali kurang memiliki kapasitas untuk mengobati penyakit tidak menular, terutama yang bersifat kronis jangka panjang seumur hidup.
Bagi individu sendiri, lanjut Marzuki, dapat meminimalkan risiko PTM dengan melakukan perubahan gaya hidup maupun dengan tidak melakukan aktivitas yang berbahaya. Minyalnya merokok, merubah pola makan tidak sehat, dan kurangnya aktivitas fisik yang aktif.
“Sayangnya, cara tersebut tidak selalu mudah bagi sebagian masyarakat,” katanya.
Untuk memastikan hak mereka atas kesehatan, Marzuki mengingatkan agar setiap individu paling tidak harus menyadari hak mereka atas informasi dan hak untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmiah.
“Ini harus mencakup pengetahuan tentang dan akses ke produk-produk alternatif atau kurang berbahaya seperti garam rendah sodium, gula rendah kalori, dan rokok alternatif,” katanya.
Dikatakan, bisnis telah melakukan beberapa upaya untuk mengurangi risiko kesehatan melalui inovasi-inovasinya. Sehingga diperlukan akses terhadap informasi tersebut, baik dari pemerintah maupun perusahaan.
“Kami di FIHRRST telah melakukan penelitian tentang hak atas informasi dan inovasi ilmiah di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan produk alternatif atau yang kurang berbahaya,” ujarnya.
Marzkui menyebut keberadaan FIHRRST telah menyajikan rekomendasi pada bagian akhir hasil studi tersebut yang nantinya akan disampaikan ke berbagai pemangku seperti pemerintah, pelaku usaha dan organisasi kemasyarakatan.
Terkait dengan pemerintah lanjut Marzuki, publik dapat memiliki peran aktif untuk melindungi kesehatannya. Publik harus memiliki akses ke produk-produk kurang berbahaya dengan pengetahuan yang cukup.
“Di sini, pemerintah harus terlibat dari tahap penelitian hingga dalam mengomunikasikan ke masyarakat. Pemerintah dapat memulai dengan mendorong keterlibatan publik dalam penelitiannya. Pemerintah juga perlu memberikan insentif dan menyelenggarakan forum-forum penelitian,” katanya.
Pendiri dan Ketua dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Prof.Dr.drg. Achmad Syawqie menyebut perlunya dilakukan penelitian ilmiah yang lebih mendalam tentang produk tembakau alternatif dan hasilnya dibuka untuk umum.
“Ini mempertimbangkan berbagai manfaat dari konsep dan pendekatan pengurangan bahaya untuk menurunkan prevalensi merokok dan mempertimbangkan semakin banyak bukti independen dan penelitian ilmiah,” katanya.
Selain itu, katanya, perlu dibuat peraturan perundang-undangan yang mencerminkan pemahaman terkini tentang sains dan teknologi secara transparan dan objektif. Apabila kementerian terkait telah mengevaluasi produk-produk tersebut, negara dapat mengizinkan pelaku usaha yang menghasilkan produk-produk alternatif, untuk dijual produk-produk tersebut kepada masyarakat dengan batasan-batasannya.
“Menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberikan informasi tersebut dengan cara yang mudah dipahami oleh publik. Perlu diteliti bagaimana cara warga mengonsumsi informasi, khususnya informasi tentang kesehatan. Terutama faktor-faktor yang dapat menghambat penyebaran informasi yang akurat seperti buta huruf dan penolakan-penolakan dari masyarakat,” katanya.
Dr. Ardini Raksanagara, dr., MPH dari Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, mengingatka bahwa masyarakat berhak untuk memperoleh informasi terbuka.
“Upaya pemerintah untuk menyampaikan informasi harus lebih ditingkatkan melalui berbagai aplikasi kemajuan teknologi dan media, konsisten, dan memperkuat sistem informasi kesehatan,” kata Ardini.
Adapun bagi pelaku usaha dapat mengambil pendekatan proaktif untuk mengurangi bahaya yang ditimbulkan oleh produk-produk mereka. Pelaku usaha tidak bisa hanya menunggu pemerintah untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang dirancang untuk melindungi pelanggan mereka.
“Pelaku usaha harus secara aktif menginformasikan kepada publik tentang inovasi ilmiah yang mungkin kurang berbahaya bagi kesehatan mereka. Pelaku usaha perlu membuat penelitian-penelitian agar tersedia bagi komunitas akademik, ilmiah, atau medis untuk dapat ditinjau lagi secara independen,” katanya.
Dari kegiatan seminar tersebut hasil studi dan rekomendasi penelitian disampaikan FIHRRST kepada berbagai pemangku kepentingan. Acara ini dibuka Dirjen Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mualimin Abdi, dilanjutkan diskusi yang dihadiri perwakilan Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Komisi Informasi Pusat (KIP), Universitas Padjadjaran, Universitas Indonesia, Lakpesdam PBNU, PT Garam, dan MoVI.