Jakarta, Gatra.com - Larangan ekspor nikel yang sebelumnya direncanakan pada 2022 mendatang, dipercepat oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjadi 2020. Alasannya, seiring dengan pengembangan kendaraan listrik di Indonesia, maka pemanfaatan nikel di dalam negeri harus dimaksimalkan.
Kasubdit Pengawasan Eksplorasi Mineral, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) ESDM, Andi Firmanto mengatakan proyeksi pada 2025 mendatang akan semakin banyak penggunaan kendaraan berbasis tenaga listrik. Selain itu, 40 persen dari biaya produksi kendaraan listrik berfokus pada baterai.
“Penggunaan kendaraan listrik di 2025 bisa mencapai 20 persen, nah 40 persen biaya produksi itu ada di baterai. Nikel ini yang jadi bahan baku pembuatan baterai,” jelas Andi saat ditemui di acara Diskusi Publik Moratorium Ekspor Nikel, Jakarta, Rabu (2/10).
Dalam agenda tersebut, Andi juga memaparkan bahwa pemerintah ingin mendorong peningkatan pengolahan nikel di dalam negeri supaya bisa menciptakan nilai tambah. Percepatan larangan ekspor nikel pun dilakukan supaya Indonesia tidak ketinggalan momen tersebut.
"Dengan adanya perkembangan dan percepatan ekonomi, kami kaji ulang makanya ada aturan Permen ESDM 11 Tahun 2019 (kebijakan larangan ekspor nikel pada 2020). Kita nggak mau kehilangan momentum," jelas Andi.
Sebagai informasi, Indonesia saat ini merupakan negara terbesar pemasok nikel di seluruh dunia. Indonesia tercatat memasok 560 ribu ton nikel, dan ini membuat Indonesia berada di peringkat teratas. Maka dari itu, Indonesia memiliki posisi penting dalam pengembangan kendaraan listrik.
"Indonesia pemasok nikel terbesar di dunia. Jadi, penting posisi kita nih. Gak ada yang punya nikel sebanyak kita," pungkasnya.