Jakarta, Gatra.com - Pengamat Hukum dan Perundang-undangan, Charles Simabura mengatakan, RUU menjadi proyek DPR. Menurutnya, setiap RUU yang dimasukkan dalam daftar prolegnas memiliki anggaran tersendiri yang berasal dari APBN.
"Berapa banyak keuangan negara yang dihabiskan untuk mereka membahas itu? RUU itu, dalam tugas dan fungsinya DPR, ya itulah proyek mereka. Karena kalau gak ada pembahasan UU, apa kerja mereka coba? Mereka keluar negeri, pasti karena studi banding bahas UU, kunker ke daerah, pasti dalam rangka bahas UU," katanya di Sekretariat KoDe Inisiatif, Jakarta, Rabu (2/10).
Oleh karena itu, Charles menambahkan, tidak perlu memasukkan terlalu banyak RUU dalam Prolegnas. Pasalnya, DPR periode 2014-2019, hanya mampu menyelesaikan sekitar 21 RUU dari total 53 RUU dalam Prolegnas Prioritas.
Baca juga: Daftar Panjang RUU Prolegnas Tidak Dibahas
"Kalau capaiannya tahun ini cuma 21, tahun depan kasih 25 deh yang masuk dalam Prolegnas itu. Sehingga yang prioritas itu betul-betul yang diprioritaskan," ujarnya.
Dengan ini, lanjutnya, penggunaan anggaran negara bisa lebih efektif dengan hasil yang nyata. "Silakan anggaran dihabiskan untuk itu, dengan catatan ya jadi UU-nya. Jangan cuma terdaftar di Prolegnas, sudah kunker, studi banding kemana-mana ternyata gak jadi barangnya," tegasnya.
Selain itu, Charles juga mengkritisi, tidak adanya lembaga negara yang mampu mengatakan kinerja buruk DPR. Malahan, DPR selalu berdalih pengesahan RUU tidak mudah lantaran terkait isu politik.
Baca juga: RUU Bermasalah Dinilai Miliki Relasi Kepentingan DPR
"Tapi kan mereka gak mau fokus. Saya lebih senang mereka bikin perencanaan 10, nanti jadinya 15. Itu kan prestasinya jd bagus. Tapi kalau direncanakan 50, setiap tahun jadinya di bawah itu, ini yang jadi masalah," ucapnya.
Oleh karena itu, penyusunan daftar Prolegnas seharusnya betul-betul dilakukan dengan pendekatan berdasarkan kebutuhan. Pasalnya, menurut Charles, saat ini penyusunan daftar Prolegnas menggunakan pendekatan berbasis anggaran.
"Jadi tidak akan ada perubahan yang signifikan yang bisa kita harapkan akan berimplikasi pada peningkatan kinerja legislasi mereka. Sepanjang mindset terhadap UU tidak berubah dan menganggap kinerja mereka dalam menyusun UU itu hanya diukur dari berapa banyak UU yang direncanakan, sehingga muncul anggaran yang cukup besar tanpa mau mengevaluasi lebih ketat," pungkasnya.