Bantul, Gatra.com - Merasa persaingan pasar batik semakin keras, pengusaha batik tulis di Bantul membidik segmen khusus dan menjauhi pasar online. Mereka percaya, sebagai tradisi luhur yang diakui dunia, pamor batik tulis Daerah Istimewa Yogyakarta tidak akan tergerus waktu.
Saat berkunjung ke kawasan pusat produksi batik tulis di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Bantul, Rabu (2/10), Gatra.com bisa dikatakan kurang beruntung. Pasalnya sebagian besar perajin batik tulis diundang menghadiri peringatan Hari Batik Nasional oleh Presiden Joko Widodo di Surakarta.
Dari 12 pengusaha batik yang setiap hari berproduksi, Gatra.com hanya bisa menemui dua pengusaha batik tulis di sana.
Gatra.com pertama bertemu dengan Akhyar Muzaki (33), pengelola rumah usaha batik tulis ‘Sidomukti, 0,0 Km Giriloyo’. Di sela-sela mengarahkan pekerjanya menyelesaikan batik pesanan dari Papua, Muzaki berbagi cerita.
“Persaingan usaha batik sejak 7-8 tahun lalu semakin sengit. Tidak hanya karena persaingan dengan batik printing, tapi kehadiran pengusaha batik di berbagai daerah menjadi faktor yang lain,” katanya.
Namun karena merasa bertanggung jawab meneruskan budaya leluhur, Muzaki tidak putus asa. Selain terus memproduksi batik tulis dengan motif tradisional unggulan DIY seperti sidomukti, kawung, atau sekarjagad, Muzaki merambah pasar baru.
Ia menghadirkan motif modifikasi dari motif tradisional dan bermain dengan warna-warna cerah atau pop art. Dari langkah itu, Muzaki mulai mendapat pasar baru dari kalangan anak muda di berbagai kota di Indonesia.
“Bahkan sejak dua tahun terakhir ini, saya sudah bekerja sama dengan beberapa pengusaha daerah memproduksi batik dengan motif khas suku atau budaya setempat. Dari sini kami bisa bertahan,” jelasnya.
Membidik pasar khusus ini, menurut Muzaki, menjadi pilihan logis. Pasalnya, motif suku dan budaya suatu daerah kurang diangkat oleh kerajinan batik tulis yang kental menjunjung estetika dan nilai-nilai tradisi.
Ia lantas mencontohkan beberapa batik tulis kontemporer yang sedang ia kerjakan. Batik itu bermotif budaya Papua dan Kalimantan Barat dengan simbol-simbol suku di sana.
“Desain awalnya dari konsumen. Terus saya kembangkan usai mempelajari sejarah dan budaya mereka. Lumayan setiap dua minggu ada 25 motif berbeda yang dipesan,” jelasnya.
Muzaki masih memproduksi batik tulis bermotif klasik seharga Rp550 ribu sampai Rp5 juta per lembar. Selain itu, ia merambah pasar luar daerah dengan harga lebih murah yaitu Rp350 ribu sampai Rp1,3 juta. Per bulan omzet bisnisnya mencapai Rp100 juta.
Soal pemasaran, Muzaki tidak menampik layanan pesan secara online sempat terpikirkan. Meski mampu meraih pasar yang lebih luas, hal itu urung ia lakukan karena khawatir motif karyanya dijiplak pihak lain.
“Motif yang berbeda dari yang lain adalah nilai lebih dari batik tulis. Inilah yang kami jual. Selama ini cukup pemasaran dari mulut ke mulut dan via foto kepada pelanggan. Jadi nanti jika motif dipakai oleh orang lain bisa kita cari sumbernya,” katanya.
Pemasaran konvensional, menurut pengelola ‘Sungsang Batik’ Ayuwundari (30) jamak dilakukan perajin di Wukirsari. Sebab hampir seluruh perajin batik di kawasan ini menciptakan motif baru kreasi sendiri untuk menarik pasar.
“Bukannya kami pelit. Tapi untuk motif ciptaan sendiri itu rahasia perusahaan. Berbeda dengan motif klasik yang bisa diambil dari banyak sumber,” ucapnya.
Dengan motif baru dan penggunaan warna yang lebih berani, Ayu mengatakan pembeli batiknya bertambah. Bahkan, selain dari kota-kota di Jawa dan luar Jawa, beberapa pembeli datang dari Jepang.
Ayu menceritakan, sebelum datang, pembeli dari Jepang memesan dulu motif yang diinginkan untuj dikerjakan perajin. Batik pesanan pembeli Jepang berukuran besar. Jika batik biasa 1 x 1,5 meter, atik pesanan Jepang bisa mencapai 1 x 1,5 meter.
“Mereka menjadikan batik produksi sini sebagai bahan utama kimono,” katanya.