Ambon, Gatra.com- Sumur-sumur atau lubang bekas semburan lumpur menganga di sejumlah titik di Desa Liang, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Semburan material dalam perut bumi ini terjadi bersamaan guncangan gempa Maluku berkekuatan 6.8 SR yang menerjang, pada Kamis (26/9/2019) pukul 08.46 WIT lalu.
Material yang dimuntahkan saat itu berupa pasir, tanah dan pecahan-pecahan batu karang. Fenomena yang disebut gejala likuifaksi ini terjadi akibat rapuhnya tanah di lokasi terdampak parah gempa tersebut.
“Memang saat gempa saya tidak berada di rumah. Tapi menurut ibu saya, saat gempa dan mereka berlari keluar dari dalam rumah, mereka melihat lumpur keluar setinggi beberapa meter," ungkap Zulfitri Lessy kepada Gatra.com saat turun dari lokasi pengungsian mengecek rumahnya, Senin (30/9/2019).
Semburan lumpur juga keluar dari dalam rumah Zulfitri. Material pasir, tanah dan karang ini membelah ubin, tepat di dalam kamar rumah. "Dalam kamar ibu saya juga keluar lumpur. Kalau batu karang-batu karang itu juga keluar dari dalam tanah,” kata Zulfitri sambil menunjukan sisa semburan yang masih terlihat basah.
Sumur bekas semburan lumpur diberi tanda menggunakan batang pohon sagu atau biasa disebut orang Maluku sebagai gaba-gaba. "Yang ada gaba-gaba itu sumur sumburan lumpur. Gaba-gaba itu kalau di tusuk ke dalam, maka gaba-gaba itu akan masuk terus," kata Zulfitri.
Senada, Sayudi Lessy mengaku sumur yang kini terisi air itu rasanya salobar atau campuran air laut dan air sungai. Menurutnya, lubang bekas semburan lumpur ini terdapat di beberapa wilayah di Desa Liang.
“Kalau di sebelah sana lubangnya lebih besar,” kata Sayudi menunjuk arah timur desa Liang, sembari mengaku lubang bekas semburan lumpur yang banyak berada di pesisir pantai. "Kalau air meti (air laut surut) baru bisa terlihat," tambah Sayudi.
Pantauan Gatra.com di kawasan RT 01 RW 01 Desa Liang, tampak sejumlah rumah ambruk hingga rata dengan tanah. Terlihat 3 titik sumur bekas sumburan lumpur. Diameter luas sumur atau lubang sumburan lumpur kurang lebih 1 sampai dengan 1,5 meter. Dua diantara sumur-sumur itu tampak telah dipagari garis polisi.
Semburan lumpur tersebut kata peneliti dari Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) merupakan gejala likuifaksi. "Iya. Kalau dilihat ini gejala likuifaksi," kata kepala tim tanggap gempabumi Ambon, Badan Geologi, ESDM, Dr. Athanasius Cipta, saat sedang meneliti keberadaan sumur-sumur bekas sumburan lumpuran tersebut.
Tim geologi ingin mencari tahu kenapa fenomena tersebut tidak terjadi di seluruh tempat. Berdasarkan kesaksian warga, lokasi yang terdapat lubang-lubang semburan lumpur ini menghasilkan air dengan kedalaman galian hanya sekitar 2 meter.
Fenomena itu terjadi karena di bawah air terdapat batuan yang kedap air. Sehingga air terkumpul di situ dan menyebabkan batuan tersebut jenuh air. "Karena ditambah dorongan, maka air bisa keluar bersama dengan material batuan,” kata Cipta yang mengaku tiba di Ambon, Minggu (29/9/2019).
Biasanya, tambah Cipta, sumburan yang dikeluarkan adalah material-material sangat halus atau pasir. Tapi sebaliknya yang terjadi di Liang, bahkan sampai mengeluarkan pecahan-pecahan batu karang.
Hal itu menandakan bahwa adanya daya tekanan yang sangat kuat. "Kejadian ini cukup jarang sampai batu karang bisa keluar. Tapi kalau keluar adalah lumpur itu fenomena yang sangat sering terjadi. Lumpur atau pasir halus yang keluar, biasa kita sebut secara umum namanya pelulukan,” katanya.
Cipta menambahkan gejala likuefaksi ini terjadi setelah batuan yang tadinya padat, tapi karena adanya tambahan tekanan menyebabkannya menjadi cair dan akan keluar jika lapisan atasnya retak.
“Kalau lapisan diatasnya retak, kemudian lapisan di bawahnya jenuh air dan lapisan ke tiganya kedap air, maka itu yang menyebabkan ini terjadi,” terangnya.
Kondisi tanah di Liang, lanjut Cipta, terdapat lapisan atas yang paling mudah dan cukup solin. Ini dapat dipakai sebagai pijakan dan membangun bangunan. Secara umum lapisan tanah di Ambon, didominasi oleh gamping. Gamping Ambon banyak mengalami keretakan, bahkan bisa sampai 20-30 senti.
Adanya keretakan gamping menyebabkan ruang-ruang keretakan tersebut diisi lapisan yang lebih mudah. Lapisan mudah itu lebih solid dari pada lapisan gamping yang dibawahnya."Seperti umumnya gamping, porositasnya sangat tinggi. Artinya dia bisa menyimpan air dalam jumlah banyak,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Cipta, di bawah lapisan gamping, juga terdapat lapisan yang lebih tua. Lapisan ini tidak bisa ditembus air. Sehingga air hanya dapat terkumpul di bagian tengah. Olehnya itu semburan lumpur akan terjadi jika lapisan atas tidak terlalu tebal.
Menurutnya, kondisi tanah di Liang rapuh. Tapi pihaknya masih terus melakukan penelitian di beberapa titik untuk melakukan pembandingan. Penelitian dilakukan dengan cara memasang alat sensor di wilayah kerusakan dan daerah yang tidak terdampak.“Kami memakai alat seismometer. Kami ingin membandingkan kondisi apa sih yang membedakan. Kita cari tahu lapisan mana penyebab fenomena ini," katanya.
Setelah melakukan penelitian, pihaknya baru akan mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah daerah. “Kami baru 2 hari melakukan pemeriksaan. Rencananya kami akan petakan, dan bandingkan dengan jarak yang sama dengan episenter, mana yang rusak, mana yang tidak,” ujarnya. Cipta mengaku pihaknya juga ingin melakukan pengukuran kekuatan tanah dan mencari tahu penyebab kerusakan.
"Kami cari tahu yang mana sih yang kerusakan itu disebabkan kondisi geologi seperti apa. Berdasarkan itu nanti kami akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah,” tandasnya.