Banda Aceh, Gatra.com - Puluhan Jurnalis Aceh melakukan aksi unjuk rasa di Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh, Senin (30/9). Mereka mendesak Presiden RI untuk mereformasi lembaga kepolisian karena banyak kasus kekerasan terjadi terhadap jurnalis.
Selain itu, Kepolisian juga terkesan lamban dalam mengungkap kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di Tanah Air.
"Kami juga mendesak aparat kepolisian memproses hukum pelaku kekerasan terhadap jurnalis tanpa melihat latar belakang pelakunya, meski dari kalangan korpsnya sendiri," kata Koordinator Aksi, Juli Amin di Banda Aceh.
Jurnalis Aceh juga meminta semua pihak untuk tidak menghalang-halangi, mengintimidasi dan melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Dalam menjalankan profesinya, jurnalis dilindungi Undang-undang 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Ia juga menjelaskan, sejak 14 hingga 25 September 2019, sebanyak 14 jurnalis mengalami intimidasi dan kekerasan saat menjalankan profesinya. Kejadian itu tersebar pada beberapa daerah di Indonesia.
Dari data diperoleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, pelakunya mayoritas dari oknum aparat kepolisian yang mestinya mengayomi dan melindungi para insan pers terutama ketika berhadapan di lapangan dalam setiap aksi massa.
Tidak hanya itu, kata dia, pembungkaman berekspresi atau menyampaikan pendapat terhadap warga negara di negeri demokrasi ini juga semakin dikekang dan dibungkam.
Sebagaimana dialami oleh Dandhy Dwi Laksono seorang jurnalis yang juga aktivis HAM dan lingkungan. Dia dijemput paksa oleh aparat kepolisian Polda Metro Jaya dari rumahnya di kawasan Bekasi pada Kamis malam 26 September 2019, hanya karena mengkritik kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini di Papua lewat akun twitternya.
Setelah diperiksa selama lima jam, Dandhy yang juga pendiri rumah produksi Watchdoc dan Sutradara Film Sexy Killer ini langsung ditetapkan sebagai tersangka kasus SARA lewat Undang-undang ITE. Meski kemudian dibebaskan, tetapi status tersangka masih melekat padanya. "Pembebasan Dandhy hanya sebatas penangguhan penahanan atau tahanan luar,"ungkap dia.
Sementara kasus kebakaran rumah milik Asnawi Luwi, seorang jurnalis di Aceh Tenggara, Provinsi Aceh yang terjadi pada 30 Juli 2019 dini hari, hinga kini belum terungkap.
"Meski diduga kebakaran itu karena faktor pemberitaan dan upaya untuk membungkam kemerdekan pers, tetapi hingga hari ini (tepat 60 setelah kejadian) motif kasus itu belum terungkap, apalagi menangkap pelakunya,"terang Juli Amin.
Untuk itu, pihaknya mendesak kepolisian dalam hal ini Polda Metro Jaya untuk segera membebaskan Dandhy Dwi Laksono dari status tersangka dugaan kasus SARA, dengan menerbitkan Surat Perintah Pemberhentian Perkara (SP-3)
"Kami juga meminta Polda Aceh untuk segera mengungkap motif dan dalang kasus pembakaran rumah jurnalis di Aceh Tenggara,"pungkasnya.