Home Gaya Hidup Melongok Serunya Perang Tomat dalam Festival Gunung Slamet

Melongok Serunya Perang Tomat dalam Festival Gunung Slamet

Purbalingga, Gatra.com – Beda dengan suasana peperangan sesungguhnya, suasana gembira justru meruap ketika warga Desa Serang menyiapkan seluruh logistik untuk melakukan peperangan di tempat yang telah disepakati. Mereka menyiapkan tomat, senjata utama dalam ‘Perang Tomat’ yang merupakan rangkaian Festival Gunung Slamet (FGS) 2019.

Seluruh warga bersiap membentuk formasi perang yang kemudian diikuti dengan lemparan-lemparan dari kedua sisi kubu. Perang tomat digelar di lembah Asri Desa Serang, Karangreja, Purbalingga.

Perang tomat tersebut diikuti enam RW di Desa Serang, ditambah Banser NU yang kali ini turut berpartisipasi. Dalam perang ini, ada dua regu yang dinobatkan sebagai juara pertama dan juara kedua.

Pemenang pertama diraih oleh RW 3 Desa Serang dengan mengumpulkan total skor sebanyak 2.182 dan juara kedua diraih oleh RW dengan mengumpulkan total skor 2.030.

“Yang dinilai dari beberapa aspek seperti jumlah peserta, kepatuhan terhadap aturan, kekompakan dan elemen lain,” kata Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekda Purbalingga Agus Winarno, Senin (30/9).

Agus menjelaskan perang tomat ini merupakan simbol untuk Desa Serang. Hal itu juga di dimaksudkan untuk melestarikan asal usul Desa Serang.

“Saat zaman perang memekikan kata ‘Serang! Serang’ sehingga nama Serang ada hingga sekarang. Perang tomat mengandung filosofi pada asal usul terbentuknya Desa Serang di masa lalu,” ucapnya.

Sementara, Kepala Desa Serang, Sugito yang ditemui seusai acara menjelaskan, sebanyak dua ton tomat disediakan untuk gelaran itu. Namun, ia memastikan bahwa tomat yang digunakan bukan pemborosan alias mubazir.

Sebab, tomat yang digunakan adalah tomat yang sudah tidak layak untuk konsumsi. Daripada dibuang percuma, tomat-tomat yang menjelang busuk tersebut dimanfaatkan untuk even FGS.

“Dua ton tomat itu sudah tidak bisa dikonsumsi sehingga kami manfaatkan untuk acara ini. Jadi menurut kami itu bukanlah suatu yang mubazir,” kata Sugito.

193