Jakarta, Gatra.com – Kerusuhan yang terjadi di Wamena pada Senin (23/9) telah menyisakan duka yang mendalam bagi rakyat Papua dan masyarakat Indonesia. Kejadian memilukan itu telah merenggut nyawa korban puluhan warga sipil yang bermukim di Papua. Sebagian besar dari warga yang menjadi korban adalah penduduk pendatang.
Anggota Komisi I DPR Sukamta menyatakan keprihatinan dan duka cita atas jatuhnya korban jiwa serta kerusakan rumah dinas, ruko dan kantor bupati akibat amuk massa dalam kerusuhan di Wamena.
“Saya berharap kejadian ini tidak terulang lagi. Sejak awal kita sudah ingatkan pemerintah bahwa persoalan Papua prioritas utama karena risiko korban sipil yang tinggi”, ucap Sukamta. Politisi PKS tersebut menyesalkan kejadian di Wamena tidak terdeteksi dengan baik oleh intelijen dan aparat terkait padahal kerusuhan serupa telah terjadi di Sorong, Jayapura, dan beberapa daerah di Papua.
Hal tersebut terang Sukamta menunjukkan pemerintah belum memiliki sense of urgency dalam menyelesaikan sengkarut konflik di Papua. “Saya berharap kelalaian ini tidak terulang kembali. Pemerintah harus melakukan kerja faktual untuk Papua bukan sekadar kerja simbolis apalagi upaya mengalihkan dengan isu yang lain,” ujarnya.
Untuk langkah konkret jangka panjang, legislator asal dapil Yogyakarta itu menyarankan kepada pemerintah untuk membuat Tim Adhoc Penyelesaian Konflik Papua. Pemerintah menurutnya juga perlu menambah jumlah personel aparat keamanan khususnya kepolisian dengan prioritas tugas menjaga keselamatan warga sipil dan menciptakan situasi aman terkendali.
“Sekali lagi persoalan Papua sangat serius, karena terkait dengan keselamatan jiwa warga sipil, maka wajib dituntaskan dulu. Wacana Pemindahan ibu kota bisa dibahas lain waktu setelah diselesaikan persoalan-persoalan besar yang ada di depan mata,” tegasnya.
Dalam pandangan terpisah pengamat militer Wibisono mengatakan persoalan di Papua harus dilihat secara komprehensif dimana pemerintah menangkap keinginan dan “suara” masyarakat Papua. “Persoalan rusuh di Wamena bukanlah suasana perang. Ketegangan di Papua selama ini membesar karena menyangkut keinginan rakyat Papua untuk menyerukan referendum, ini setelah kejadian insiden di asrama mahasiswa Papua, Malang dan Surabaya,” katanya kepada Gatra.com, Sabtu (28/9).
Ia mengatakan masyarakat Papua terlarut emosi lantaran viralnya ejekan bernada rasial. Ia berpandangan sentimen itu yang kemudian memantik kemarahan masyarakat Papua tanpa melakukan klarifikasi yang cukup atas kondisi itu.
“Akibatnya [sentimen rasial] rakyat Papua bangkit dan bergerak di seluruh tanah mereka dengan menyuarakan merdeka yang dinilai ditunggangi asing. Tapi kenapa kalau ada menyangkut pihak asing aparat kita justru lemah? Sedangkan menghadapi demo adik-adik mahasiswa sangat refresif?,” ujarnya.
Kebencian rakyat Papua terang Wibi selama ini berakar dari kesenjangan sosial antara masyarakat pendatang dan masyarakat pribumi asli. Stabilitas keamanan dan politik di Papua saat ini menurutnya mencapai titik terendah. Instabilitas Papua menurutnya harus disikapi dengan tegas tapi persuasif. “Tegas bagi perusuh dan persuasif bagi aksi demo yang murni menyuarakan suaranya”.
Atas kejadian kerusuhan di Wamena ia menyebutkan aparat keamanan kecolongan dan gagal mengantisipasi kejadian tersebut. “Atas kejadian ini timbul pertanyaan apakah masih ada perlindungan dari negara kepada warga negaranya? Bagaimana negara memberikan kepastian atas nasib orang orang non Papua di tanah Papua?,” ujarnya.
Ia menyarankan agar pemerintah menyegerakan dialog penyelesaian di Papua. Presiden Joko Widodo menurutnya harus bersikap tegas untuk tidak membiarkan terjadinya pembantaian etnis dari warga pendatang di Papua.
“Presiden Jokowi tidak boleh mentolerir pembantaian ini, masalah horizontal dapat didekati dengan berbagai dialog namun pembantaian etnis haruslah dilakukan dengan kekuatan aparat keamanan negara. TNI harus memperkuat Polri, at all force dan at all cost,” pungkasnya.