Jakarta, Gatra.com - Hasil pemantauan LSM lingkungan Auriga, menunjukkan bahwa terdapat 9.925 titik api (hotspot) dari 13.069 hotspot dalam kawasan hutan, 9.295 di antaranya berada di wilayah Kawasan Hidrologis Gambut (KHG). Sementara di Area Penggunaan Lain (APL), dari keseluruhan 6.784 hotspot, 4.263 di antaranya merupakan KHG.
"Fakta ini mengkhawatirkan mengingat KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutaban) sendiri baru saja menerbitkan P.10 (Peraturan Menteri KLHK) Tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut yang justru mengurangi proteksi terhadap hidrologis gambut," terang Direktur Hutan Auriga, Mumu Muhajir pada Ahad (29/9) di Hotel Cipta Wahid Hasyim, Jakarta.
Mumu menambahkan dalam peraturan tersebut cakupan proteksi dikurangi dari kunah gambut yang harus dilindungi menjadi hanya puncak gambut.
"Tidak konsisten kan. Di sisi lain, kita cegah karhutla (kebakaran hutan dan lahan) dan kita ikut proses menurunkan emisi gambut. Pada saat yang sama dibuat oeraturan yang memperkecil wilayah yang dilindunginya," ujarnya.
Menurutnya, peraturan ini akan menghambat upaya pemadaman dan pencegahan karhutla di lahan gambut. Selain itu dari 7.343 hotspot di Konsesi, sebanyak 48% (3.528 hotspot) yang berada dalam kawasan prioritas restorasi gambut.
Kemudian, Ia juga mendesak transparansi data mengenai kawasan hidrologis gambut dan informasi-informasi lain terkait restorasinya.
"Ketika kita tahu perusahaan mana yang harus melakukan restorasi gambut, kita nggak pernah dapat (datanya)," ujarnya.
Sambungnya, Mumu menpertanyakan komitmen KLHK dan Badan Restorasi Gambut (BRG) dalam mendorong pemulihan ekosistem gambut.
Selain itu, Ia juga berharap KLHK menyusun peta rawan api sebagai langkah antisipasi menghadapi musim kemarau dan siaga di area rawan-rawan api tersebut.
"Kalau kita tunjuk perusahaan sebagai pelaku, oke legitimate (sah). Tapi kita harus bertanya kenapa karhutla banyak di wilayah-wilayah yang tak ada izinnya dan dipegang oleh pemerintah," ungkapnya.