Jakarta, Gatra.com - Komite Milenial Antikorupsi (KMA) menilia rencana Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) Pekerja Migran Indonesia ke Arab Saudi di Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) terdapat sejumlah kejanggalan.
Koordinator Komite Milenial Antikorupsi, Agus L, dalam keterangan tertulis, Sabtu (28/9), menyampaikan, karena itu pihaknya meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman untuk mengawasi rencana tersebut agar tidak terjadi penyimpangan.
Menurut Agus, kedua lembaga tersebut harus mengawasi karena rencana ini terkesan aneh. Pertama, penerbitan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 291 Tahun 2019 terkesan dibuat tergesa-gesa.
Kepmenaker tersebut mengatur bahwa perusahaan penempatan yang ditunjuk untuk melakukan penempatan melalui program SPSK harus melalui asesmen yang dilakukan oleh pihak kementerian.
"Di dalam Kepmenaker No. 291 pada bab III Nomor 1 K disebutkan bahwa perusahaan penempatan harus memiliki surat atau bukti keanggotaan dalam asosiasi yang ditunjuk sebagai wakil dari KADIN," kata Agus.
Persoalan berlanjut karena KADIN menunjuk Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI) sebagai satu-satunya lembaga sehingga asosiasi lain tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk menjalin kerja sama.
Bukan hanya itu, dalam Bab III Nomor 2 Kepmenaker menyatakan bahwa pekerja imigran merupakan tanggung jawab dari asosiasi. Ketentuan ini seolah-olah meniadakan peran Kemenaker dalam melindungi pekerja migran di luar negeri.
Selanjutnya, ketentuan bahwa perusahaan penempatan yang akan mengirim tenaga kerja migran ke luar negeri telah melakukan persiapan, pendataan, dan lain sebagainya berdasarkan koordinasi dengan APJATI.
Menurut Agus, kejanggalan terdapat pada poin 6 bahwa asosiasi telah menunjuk satu perusahaan sebagai penyelenggara job fair bagi calon pekerja migran. Langkah ini bertentangan dengan UU No 18 Tahun 2017 yang menyebutkan bahwa penyelenggara job fair bagi pekerja migran adalah pemerintah daerah.
"Masalah penempatan pekerja imigran ini sangat sensitif. Seharusnya kementerian tidak mengeluarkan kebijakan apapun di akhir masa jabatan. Apalagi yang ditempatkan adalah manusia [pekerja imigran] sehingga tak layak dicoba-coba." tegas Agus.
Agus juga minta agar potensi kejanggalan dalam penunjukkan perusahaan yang berhak menempatkan TKI sesuai dengan peraturan yang berlaku harus dievaluasi lagi.
"Saya melihat banyak sekali keanehan dan sangat kental bau kolusi yang berpeluang korupsi dalam pelaksanaan program SPSK ini," katanya.
Menurutnya, seharusnya pemerintah lebih transparan dalam penyusunan teknis pelaksanaan dan tidak tergesa-gesa saat mengeluarkan kebijakan atau aturan apapun yang berkaitan dengan SPSK ini.
"Publik akhirnya akan menilai, apakah benar SPSK ini harus dijalankan dengan cara-cara sehat dan menjamin perlindungan pekerja migran namun hanya untuk mengeruk keuntungan semata, atau pemerintah betul-betul memikirkan perlindungan bagi warganegaranya," kata Agus.