Jakarta, Gatra.com - Tak banyak yang tahu, mendiang Paulus Arswendo Atmowiloto, seniman sekaligus jurnalis senior merupakan pencipta komik. Awalnya, Arswendo kerap kali menggubah sebuah cerita untuk digambarkan oleh komikus seperti Ganes TH, Jan Mintaraga, Wid NS dan lainnya di Majalah Hai, saat ia menjadi pemimpin redaksi media tersebut.
Arswendo memang membuka ruang yang cukup besar untuk komik di Majalah Hai. Tak hanya di media itu, pria kelahiran Surakarta tersebut juga menerbitkan seri tulisan jurnalistik cum esai bertajuk "Komik Itu Baik" di Harian Kompas pada 10 Agustus 1979.
Tulisan yang berlanjut hingga 1981 itu bahkan mengilhami pameran komik dan seminar pertama di Yogyakarta pada 1981 yang diinisasikan oleh sastrawan sekaligus rekan dekatnya, Seno Gumira Adjidarma.
Seno mengisahkan, Arswendo memulai karya dari hal-hal yang disepelekan banyak orang. Arswendo bahkan pernah menulis soal Srimulat sebelum akhirnya memunculkan komik.
Namun menurut Seno, saat ia memunculkan seri komik, justru menjadi angin segar untuk masyarakat di tengah tayangan media yang membosankan era Orde Baru. Saat itu, kata Seno, tayangan media sering menampilkan aktivitas pejabat pemerintah saja.
Satu hal yang disayangkan, komik kerap kali mendapat stigma buruk dari masyarakat. Seno menjelaskan, beberapa pendidik juga tak menganjurkan komik untuk dibaca anak-anak.
"Komik itu seni kelas dua. Hari-hari itu saya juga sebagai pembaca komik, melepaskan komik karena 'racun-racun' kebudayaan itu," kata Seno saat pembukaan pameran 'Komik Itu Baik' di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (28/9).
'Racun' itu akhirnya bisa lepas dari Seno setelah ia membaca komik karya Arswendo. Ia mengaku, Arswendo mampu menarasikan komik dengan baik.
"Memang tidak sempurna sebagai ilustrator, tapi penyampaiannya kuat, makanya tembus. Kata Arswendo, komik itu bukan kesempurnaan gambar, tapi yang penting narasinya," kenang Seno.
Di sisi lain, Arswendo juga memperjuangkan hak komikus. Namun, sebagai pribadi yang berlaku adil, Arswendo juga tak sungkan mengkritik karya yang mengandung kekerasan.
"Saya bersyukur kena racunnya. Makanya saya meniru, menulis tentang komik. Walaupun gak idealis banget," kata Seno.
Senada dengan Seno, penulis skenario Salman Aristo menjelaskan, Arswendo menjadikan komik sebagai alat perlawanannya. Saat rezim Orde Baru, di mana institusi pendidikan, khususnya pemerintah masih jadi penentu moral, Arswendo tak takut menyebut komik itu baik.
"Mas Wendo itu sangat mementingkan konteks dan kemerdekaan cerita, memberikan kontribusinya kepada masyarakat. Ketika komik dianggap barang yang distigma, ya dia melawan. Komik dari 1979, sampai sekarang juga dibilang jelek," ujar Salman.
Secara luas, Salman mengatakan, bentuk perlawanan dari Arswendo tak hanya dituangkan melalui komik, namun juga media lain seperti film dan tulisan. Karya-karya Arswendo juga masih relevan hingga hari ini, salah satunya film Keluarga Cemara.
"Karena Mas Wendo tahu, istilahnya tuh, skrip yang ada di publik, narasi besar yang ada di masyarakat. Itu kelebihan seorang Arswendo, sehingga dia bisa segitu produktifnya," tandasnya.