Purbalingga, Gatra.com - Masyarakat Desa Wisata Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, mengarak 777 lodong (wadah dari bambu) berisi air Tuk (mata air) Sikopyah, Sabtu (28/9). Atraksi wisata budaya ini merupakan rangkaian Festival Gunung Slamet yang digelar pada 27-29 September 2019.
Sejak pagi buta, lebih dari seribu warga desa berjalan menuju Tuk Sikopyah. Selain membawa lodong berisi air, warga juga membawa gunungan sayuran yang berisi wortel, tomat, kopis, kentang, dan hasil pertanian lainnya. Tidak hanya itu, berbagai miniatur binatang seperti burung dan sapi berukuran besar juga dibawa oleh warga.
Sebelum pengambilan air, prosesi diawali dengan pembacaan doa di teras masjid Kaliurip diiringi salawat berlanggam Jawa dan musik rebana. Usai prosesi di masjid, rombongan warga kemudian berangkat menuju sumber mata air Sikopyah yang berjarak sekitar 2,5 kilometer menyusuri lereng Gunung Slamet.
"Pengambilan air itu dipercaya menjadi upaya untuk mencegah wilayah yang ada di lereng Gunung Slamet dari musibah kekeringan dan paceklik," kata Kepala Desa (Kades) Serang, Sugito.
Sugito mengatakan ritual itu dilakukan secara rutin setiap tahun. Namun, pada sejak tahun 2015 kegiatan ini dikemas dalam atraksi wisata Festival Gunung Slamet.
Usai pengambilan air, sesepuh masyarakat kembali membacakan doa sebelum rombongan berjalan menuju D’Las Serang untuk melakukan kirab. Air dalam lodong itu diterima oleh Bupati Purbalingga, Dyah Hayuning Pratiwi, serta tokoh masyarakat desa setempat. Air itu kemudian ditampung dalam satu wadah besar untuk selanjutnya dibagikan kepada warga serta wisatawan yang hadir.
Sugito menuturkan, air dari Sikopyah merupakan air kehidupan bagi warga desa Serang, Kutabawa dan Siwarak. Bahkan dialirkan hingga wilayah kabupaten tetangga Pemalang.
Mata air ini merupakan satu dari tiga mata air terbesar di lereng timur Gunung Slamet, yaitu mata air panas Guci, mata air panas Baturaden dan mata air dingin Sikopyah di desa Serang. Prosesi membawa lodong ini menjadi atraksi yang menarik wisatawan. Mereka pun berebut mengambil gambar dari dekat.
"Dari cerita masyarakat, asal mula nama Sikopyah berasal dari legenda Haji Mustofa yang tinggal di padepokan dukuh Kaji milik Ndara Subali yang suka bertapa di mata air Sikopyah. Mata air itu merupakan tempat mandi dari Haji Mustofa," jelasnya.
Secara turun temurun, masyarakat desa Serang dan sekitarnya menyakini air Sikopyah tersebut sebagai air kehidupan. Ada juga yang meyakini kalau air Sikopyah dapat meningkatkan derajat dan menyembuhkan penyakit kulit.
Bupati Tiwi mengatakan, prosesi pengambilan air dari mata air Sikopyah merupakan tradisi warga desa Serang yang harus dilestarikan. Karena merupakan bagian dari upaya konservasi lingkungan.
"Atraksi wisata ini menjadi simbol merawat alam. Karena air selalu tersedia untuk kebutuhan masyarakat. Sedang angka 777 menjadi simbolisasi makna pitulungan yang berarti, air itu membawa pertolongan kepada warga masyarakat Serang dan Purbalingga," kata Dyah.
Selain kirab 777 lodong, rangkaian festival masih dilanjutkan dengan pagelaran perang tomat, Akustik Kabut Lembut, parade rebana, hingga parade budaya dari daerah eks karesidenan Kedu, Pekalongan dan Banyumas (Dulongmas).