Home Milenial Setelah Mahasiswa, Giliran Pecinta Dian Sastro Demo Polisi

Setelah Mahasiswa, Giliran Pecinta Dian Sastro Demo Polisi

Purwokerto, Gatra.com - Setelah sejumlah aksi organisasi mahasiswa menuntut keadilan terhadap tindakan represif aparat kini giliran Dian Sastro Lover Untuk Indonesia (#DisasterForIndonesia) mendemo Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Banyumas, Sabtu (28/9). 
 
Aksi yang digagas Solidaritas Masyarakat Banyumas Untuk Indonesia itu juga menolak sejumlah rancangan undang-undang bermasalah, pembatalan UU KPK, pembatalan pimpinan KPK bermasalah, tolak anggota TNI dan Polri menempati jabatan sipil, penanganan kebakaran hutan lahan serta, hentikan kriminalisasi aktivis, menghentikan aksi militerisme di Papua. 
 
Massa gabungan itu melakukan longmarch dari kampus IAIN Purwokerto menuju ke Mapolres Banyumas. Tak seperti aksi bisa, setelah mereka menggelar orasi dan menyanyikan sejumlah lagu "Bagimu Negeri", "Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti (Banda Neira)", Manusia Setengah Dewa (Iwan Fals)" dan "Di Udara (Efek Rumah Kaca".
 
Mereka juga membawa poster nyleneh seperti "Urip Mung Mampir Digebuki", "Setan Apa yang Merasukimu", "Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Demokrasi", hingga pendemo yang bertelanjang dada sembari membawa tulisan "Bukan Urusan Negara".
 
"Kami menyuarakan, hal yang sama dengan story instagram akun @therealdisaster. Menjaga dan menuntut lebih Indoensia dalam berdemokrasi. Menolak segala bentuk kekerasan dan kriminalisasi orang baik," ujar Koordinator Lapangan aksi Dian Sastro Lover Untuk Indonesia atau #DisasterForIndonesia, Ringgana (23).
 
Dia mengatakan, aksi tersebut merupakan bentuk kecaman kepada pemerintah, melalui aparatur negara terutama polisi yang masih saja brutal dalam bekerja. Menurut Ringgana, Profesionalitas, integritas sebagai pengayom semakin disangsikan. Dalam berdemokrasi, polisi justru jadi hambatan sistem negara ini beraspirasi.
 
"Nyawa terus berjatuhan. Asal main pentung. Kriminalisasi orang baik. Ini adalah bentuk solidaritas kami mengecam semua bentuk kekerasan, dan menuntut dibebaskannya mahasiswa yang ditahan," kata.
 
Menurutnya, pemerintah melalu aparatur negara telah bertindak arogan kepada warganya yang berbeda pendapat dengan kebijakan. Tidak hanya pada aksi menolak RKUHP dan menolak UU KPK saja warga negara tewas akibat berdemokrasi. Di Papua, dalam beberapa hari terakhir juga semakin banyak korban jiwa akibat berbeda pendapat dengan pemerintah.
 
Ia mengingatkan, polisi di Banyumas juga punya rekam jejak buruk. Sebab pernah melakukan pemukulan terhadap mahasiswa yang melakukan aksi damai menolak PLTB Baturraden. Mahasiswa yang sedang mengucapkan shalawat bersama namun justru disambut dengan pentungan dan penangkapan. 
 
Kekerasan dan ketidakpahaman polisi terhadap demokrasi, kata dia, akan kontra produktif dengan semangat berkarya yang dilakukan anak-anak muda. 
 
"Beda pendapat kok ditangkap, mengkritisi dan berusaha membangun negeri digebugi. Orang baik, menolong sesama seperti Ananda Badudu ditangkep juga. Dilepaskan lagi, tapi itu kan teror. Polisi harus belajar dan paham demokrasi," tandasnya. 
 
Peserta aksi, Farakhi saat membacakan tujuh poin tuntutan mengatakan, aksi ini sesuai dengan 7 tuntutan mahasiswa yang berjuang di Jakarta. 
 
"Selain itu hentikan juga kriminalisasi aktivis, tegakkan demokrasi, batalkan pimpinan KPK bermasalah, tolak TNI dan Polri menempati jabatan sipil, stop aksi militerisme di Papua dan daerah lain, tuntaskan pelanggarna HAM dan adili penjahat HAM, Menolak RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan, membatalkan UU KPK DAN UU Sumber Daya Alam, serta mendesak pengesahan RUU PKS DAN RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, hentikan pembakaran hutan di Kalimantan dan adili serta cabut izin korporasi pembakar hutan," katanya.
1135