Jakarta, Gatra.com - Rancangan Undang-Undang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (RUU SBPB) telah disetujui dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) per 24 September lalu.
"RUU ini disusun untuk menumbuhkembangkan semangat budidaya pertanian untuk mendukung mitigasi perubahan iklim. Selain itu, meningkatkan peran petani dalam membangun pertanian," ungkap Kepala Badan Ketahanan Pangan, Agung Hendriadi dalam acara sosialisasi RUU pada Jumat (27/9) di kantornya.
Ia menambahkan, penyusunan RUU tersebut didasari uji materi UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Pertanian di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012 lalu.
Agung mengatakan, RUU ini mengecualikan petani dalam perizinan dan peredaran varietas hasil pemuliaan; pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik; input pertanian; dan ketentuan lainnya. Namun, peredarannya hanya dibatasi satu kabupaten/kota menurut Pasal 29 RUU SBPB.
"Kami ingin mengisolasi, [apakah] ada dampaknya nggak terhadap datangnya hama dan penyakit?" ujarnya.
Agung menjelaskan, pelepasan varietas baru dikhawatirkan menciptakan beberapa lokasi endemik hama dan penyakit baru, sehingga penyebarannya harus dikendalikan. Ia menambahkan, pihaknya akan memfasilitasi proses pelepasan dan memungkinkan pencarian mitra bagi para petani.
"Proses pelepasan inilah ada yang namanya uji multilokasi. Tujuannya, varietas itu bisa ditanam di semua tempat dan tidak menimbulkan hama penyakit baru," tutur Agung.
Pemerintah akan membiayai pengujian tersebut. Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman menuturkan, RUU SBPB prokorporasi cukup besar karena membatasi ruang lingkup peredaran benih oleh petani kecil.
"Kalau lintaskabupaten, itu korporasi besar. Di situ logikanya kita melindungi petani kecil. Kalau di luar satu kabupaten, udah mapan," ujarnya kepada awak media, Rabu (25/9).
Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia, Dwi Andreas Santosa menyangsikan substansi RUU SBPB yang dapat melindungi petani kecil. "Undang-undang itu erat kaitannya dengan kepentingan pemerintah dan bisnis," ujarnya kepada Gatra.com pada Jumat (27/9).
Andreas dengan tegas menolak pembatasan peredaran benih yang dimulaikan petani tanpa proses pelepasan di lingkup kabupaten/kota. "Lalu bagaimana misalnya desa saya ini bersebelahan dengan desa lain yang berbeda kabupaten. Bagaimana, padahal dari MK sudah sangat jelas dan tegas diputuskan mengecualikan [pelepasan varietas] untuk petani kecil," katanya.
Kemudian, Ia menganggap alasan pembatasan ruang lingkup petani untuk mencegah penyebaran hama penyakit sekadar pembenaran pemerintah. "Benih ketika sudah dimasyarakatkan, ditanam petani sudah barang tentu memiliki keunggulan. Kita khawatir, benih introduksi yang membawa hama dan penyakit dari luar," tuturnya.
Andreas mengaku usulan yang diberikannya ketika rapat pembahasan di DPR tidak ada satupun yang diterima. "Seolah-olah itu kemudian pernyataan yang menyakitkan untuk membela petani. Membela petani apanya. Wong petani dikriminalisasi kok membela petani," tuturnya.
Ko-Koordinator Koalisi Kedaulatan Benih Petani dan Pangan, Dewi Hutabarat mengungkapkan kegiatan pemuliaan benih oleh petani merupakan kegiatan yang sudah dilakukan turun-temurun oleh petani.
"Jadi kalau dibatasi secara wilayah satu tidak perlu, kedua tidak relevan, ketiga membuat petani melanggar hukum," katanya kepada Gatra.com, Jumat (27/9). Sambungnya, pertukaran benih antarpetani tidak dapat dihindarkan karena jaringan petani tersebar di seluruh Indonesia.
Dewi menyayangkan, pemerintah tidak menaati keputusan MK dengan terbitnya RUU SBPB. Sependapat dengan Andreas, keputusan MK memberi hak kepada petani untuk memuliakan benihnya sendiri.
"Kalau alasannya ini kan melindungi petani agar tidak bahaya, artinya pemerintah merasa ada kebutuhan dicatatkah atau apalah. Mesti negara yang melakukannua, jangan diwajibkan pada petani," ungkapnya.
Lanjutnya, kewajiban petani untuk melapor dalam rangka pelepasan varietas berpotensi mengkriminalisasi petani yang tidak mengikuti prodedur. Dewi menambahkan pemerintah juga akan kesulitan menampung seluruh laporan yang ada.
Dewi menganggap pernyataan Menteri Amran mengenai petani yang mampu mengedarkan benih lintas kabupatan sebagai upaya mendikotomi pengusaha dan petani.
Lanjutnya, Ia menyayangkan, ketentuan tanaman prioritas (perencanaan budidaya komodutas pertanian) dalam RUU tersebut. "Tanam terus gagal siapa yang nanggung. Kalau tanam terus nggak dijamin pasarnya pasti menguntungkan petani, pasti petani tidak nombok. Kalau kayak gitu, siapa yang nanggung," ujarnya.
Dewi mengaku pihak-pihak yang terlibat dalam uji materi yang mendasari penyusunan RUU tidak dilibatkan dalam pembicaraannya. "Diklaim RUU ini meminta masukan banyak pihak, tapi yang mana?. Jadi, apakah RUU SBPB sudah melindungi petani?," keluhnya.