Sleman, Gatra.com – Kalangan industri melihat, dalam 3-4 tahun mendatang sudah saatnya Indonesia menghadirkan kembali usaha petrokimia yang dalam 20 tahun ini kurang berkembang. Industri petrokimia ini tak terpisahkan dengan produk utamanya berupa metanol sebagai bahan baku industri lainnya.
Hal ini mengemuka dalam diskusi ‘Merealisasikan Bontang Menjadi Pusat Industri Kimia Indonesia Berbasis Metanol’ yang digelar di gedung University Center, Universitas Gadjah Mada, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (27/9). Acara ini diselengarakan Kamar Dagang Indonesia (Kadin) dan Kementerian Perindustrian.
Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kadin Indonesia Johnny Darmawan menerangkan jika pemerintah ingin mengembalikan peran industri sebagai fondasi ekonomi nasional, struktur industri yang berbasis di hulu perlu mendapat perhatian.
“Selama 20 tahun, investasi di sektor petrokimia sangatlah minim. Dampaknya, kebutuhan bahan baku industri hulu petrokimia sangat tergantung impor karena minimnya suplai bahan baku,” katanya.
Kadin mencatat kapasitas produksi dalam negeri untuk bahan baku petrokimia baru 2,45 juta ton, padahal kebutuhannya 5,6 juta ton per tahun. Sehingga produksi dalam negeri baru memenuhi 47 persen kebutuhan domestik, Sisanya, sebesar 53% dipenuhi melalui impor.
Kondisi serupa juga terjadi pada industri metanol. Saat kebutuhan metanol meningkat, Indonesia baru memiliki satu produsen metanol dengan kapasitas produksi 660 ribu ton per tahun.
“Alhasil, ketergantungan impor metanol tergolong tinggi. Nilai impor metanol mencapai USD 12 miliar atau setara Rp 174 triliun per tahun,” ucapnya.
Pasalnya, metanol merupakan senyawa intermediate yang menjadi bahan baku berbagai industri, antara lain industri asam asetat, formal dehid, methyl tertier buthyl eter (MTBE), polyvinyl, polyester, rubber, resin sintetis, farmasi, dan dimethyl ether (DME).
Saat ini, hanya tiga kawasan di Indonesia yang menjadi basis industri pentrokimia yaitu Cilegon, Tuban, dan Bontang. Kadin bersama Badan Kejuruan Kimia Persatuan Insinyur Indonesia (BKK PII) mengusulkan pemerintah fokus mengembangkan industri petrokimia metanol di Bontang.
Selain sumber daya alam yang melimpah, yaitu berupa gas alam dan batu bara, banyaknya tenaga kerja juga menjadi menguntungkan. “Keberadaan industri metanol berbasis gas dan batu bara, bahkan biomassa, mendukung program pemerintah tentang pengalihan bahan bakar berbasis BBM ke biodiesel,” terangnya.
Senada dengan Kadin, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan pertumbuhan industri petrokomia selama lima tahun terakhir ini di bawah pertumbuhan ekonomi nasional, yakni tak sampai lima persen.
“Pemerintah sepakat, demi kepentingan ekonomi nasional pengembangan industri kimia berbasis metanol sangat urgen dan strategis. Pengembangan industri metanol penting mendukung kemandirian industri, mendukung daya saing industri nasional, dan menopang pembangunan industri berkelanjutan,” ujarnya.