Jakarta, Gatra.com - Tren mengonsumsi obat tradisional (fitofarmaka) semakin gencar dilakukan. Apalagi saat ini kecenderungan masyarakat dalam memilih pengobatan condong untuk kembali ke alam (back to nature), termasuk menggunakan terapi herbal.
Fitofarmaka disebut memiliki efek samping yang lebih kecil dibanding obat generik. Selain itu, fitofarmaka hanya bisa dibatasi oleh empat bahan saja, seperti temulawak dengan sambiloto, temulawak dengan jahe, atau temulawak saja. Karena penggunaan bahan berlebihan justru bisa membuat efek penyembuhan jadi lebih lambat.
"Jadi sifatnya itu sebagai preventif dan promotif, maka harganya lebih mahal. Beda dengan obat-obat kimia yang lebih murah dan cepat, seperti parasetamol dan aspirin. Namun obat kimia punya efek samping yang perlu diwaspadai," ungkap Ketua Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Indonesia (GP Jamu), Charles Saerang di Jakarta, Jumat (27/9).
Baca Juga: Atasi Polusi Udara, FK Undip Buat Masker Herbal
Charles menambahkan, fitofarmaka merupakan temuan dari farmasi yang harus ada edukasi dari dokter, karena di Indonesia jamu dianggap sebagai obat. "Penelitian fitofarmaka bisa sampai lima tahun. Harus diimbangi dengan harga jual ke masyarakat yang terjangkau," imbuhnya.
Karena itu menurutnya, Badan POM perlu memberikan perhatian penuh terhadap pengembangan fitofarmaka. Tujuannya tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri, tetapi diharapkan pula produk herbal asli Indonesia dapat mendunia sehingga dapat menaikkan nilai ekonomi Indonesia.
Hingga saat ini, menurut data registrasi Obat Tradisional Badan POM, tercatat baru 23 produk fitofarmaka Indonesia yang terdaftar, baik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan. Saat ini telah dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Jamu dan Fitofarmaka, yang merupakan sinergi dari beberapa instansi terkait yang diinisiasi oleh Badan POM, yang bertujuan untuk mempercepat pengembangan obat tradisional.
Baca Juga: RUU BPOM Perkuat Regulasi Industri Obat dan Pangan
Menurut anggota Komisi IX DPR RI, Imam Suroso, obat herbal yang merupakan warisan budaya harus dibangkitkan industrinya oleh pemerintah. Ia menyayangkan bahwa apotek-apotek lebih banyak menjual obat kimia dibanding jamu.
"Padahal bahan bakunya ada di Indonesia, dan murah. Bandingkan dengan obat kimia yang mahal dan langka karena diimpor dari luar negeri," kata Imam.
Dia mengapresiasi langkah Badan POM yang memfasilitasi kerja sama Indonesia dengan Cina untuk perdagangan jamu.
Fitofarmaka merupakan jenis obat tradisional yang mengandung bahan-bahan alami dan telah melalui proses uji klinis. Bahan baku yang digunakan dalam proses produksi fitofarmaka juga harus terstandardisasi, dalam hal ini adalah sesuai dengan standar pada Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia, atau Materia Medika Indonesia.