Jakarta, Gatra.com --- Hari ini, 43 tahun yang lalu (26 September 1976), sebuah peti kayu panjang diturunkan secara hati-hati dari pesawat militer Angkatan Udara Prancis di lapangan terbang Le Bourget, Paris. Sebuah paspor diserahkan pada bagian imigrasi. Pemilik paspor yang diterbitkan pemerintah Mesir itu adalah P (pharaoh) Ramesses II – Firaun Ramses II.
Pemerintah Prancis mewajibkan siapapun yang masuk ke negara tersebut menggunakan paspor meskipun telah meninggal. Hal tersebut juga berlaku bagi Firaun Ramses II. Maka sejak 1974, pemerintah Mesir mengeluarkan paspor untuk firaun legendaris itu, sehingga mumi berusia 3.000 tahun dapat diterbangkan ke Paris untuk menjalani perawatan.
Mumi firaun melakukan perjalanan dari Mesir ke Paris untuk perawatan “penyakit misterius” terkait dengan infeksi jamur yang merusak jasadnya. Kedatangan firaun menjadi kebanggaan nasional Prancis. Mumi Ramses II yang meninggal 1213 SM pada usia 96 tahun itu disambut dengan upacara militer seperti menyambut tamu negara.
Alice Saunier-Seite, State Secretary for Universities, mewakili pemerintah pada upacara penyambutan. Sambil memberi hormat dia mengatakan bahwa Mumi Ramses II adalah sisa-sisa jasad dari salah satu kepala negara purbakala terbesar.
Alice tidak berlebihan, karena Ramses II adalah salah satu penguasa paling kuat di Mesir Kuno. Ia memerintah pada abad ke-12 SM selama 66 tahun 2 bulan (dinobatkan 31 Mei 1279 SM – 1213 SM). Mungkin ini waktu terpanjang pemerintahan seorang raja. Dia firaun ketiga dari Dinasti ke-19 firaun Mesir.
Proposal untuk perjalanan mumi itu dimulai 1975, ketika seorang dokter Prancis, Maurice Bucaille (Moris Bijal), melakukan penelitian di Museum Kairo tentang eksodus Musa dari Mesir, dan mencari penyebab kematian firaun.
Dia memperoleh izin untuk memeriksa mumi dengan cermat, ia menemukan bahwa di balik perban yang melilit jasad firaun dalam kondisi tidak baik, dengan bagian-bagian yang dihancurkan pertumbuhan jamur dan bakteri. Bucaille menyarankan agar para ilmuwan Prancis dapat membantu, tetapi ada keengganan.
Kemudian kebijakan diambil Presiden Valery Giscard d'Estaing, yang melakukan kunjungan ke Presiden Anwar Sadat di Kairo, Desember 1975, dan secara resmi menyarankan agar Prancis dapat melayani restorasi firaun. Giscard d'Estaing membuka pameran mumi dan harta Ramses II di Grand Palais. Dan segera menjadi salah satu pameran di Paris paling populer, dengan 650.000 pengunjung.
Perjalanan sang firaun yang diawasi Christiane Desroche-Noblecourt, kepala kurator Louvre dan seorang ahli Mesir terkenal. Naik dengan peti dari Kairo, mumi dikirim ke laboratorium steril untuk dirawat secara khusus di Paris Musee de l'Homme (Paris Museum of Man) di Trocaclero, sebuah cabang dari Museum Sejarah Paris.
Bagian tubuh rapuh Ramses II yang diekstraksi dari peti matinya diperiksa di bawah mikroskop. Pada Februari 1977, para ilmuwan menyampaikan temuan mereka. Ramses, kata mereka, berada di bawah ancaman dua jenis serangga, 60 jenis jamur, dan sejumlah besar bakteri yang tidak diungkapkan.
Perawatan dimulai dengan pemulihan jaringan dan memuncak dengan transfer mumi ke Saclay Prancis, Barat Daya Paris, untuk iradiasi. Mumi disiram dengan sinar gamma untuk mensterilkan secara absolut, dan disimpan dalam sarkofagus transparan kedap udara. Para ahli mengatakan bahwa Ramses sekarang dilindungi dari pembusukan.
Pada 10 Mei 1977, mumi Ramses II diterbangkan kembali ke Mesir hari ini setelah para ilmuwan menyatakan sembuh dari infeksi dan "diimunisasi" untuk masa depan. Penyelamatan tubuh Firaun Ramses II di Prancis tidak lepas dari peran besar Maurice Bucaille.
Bucaille merupakan ilmuwan Prancis terkemuka, seorang ahli bedah kenamaan. Ia dilahirkan di Pont-L’Eveque, Prancis, 19 Juli 1920. Ia memulai karir dokternya sebagai dokter ahli gastroenterelogy. Dia pernah menjadi dokter keluarga Raja Faisal dari Arab Saudi, dan keluarga presiden Mesir, Anwar Sadat pernah menjadi pasiennya. Jadi sangat wajar jika dia memperoleh akses istimewa untuk meneliti jasad para firaun untuk mengaitkan dengan Nabi Musa AS.
Dia tidak menyiakan kesempatan istimewa itu untuk meneliti jasad para firaun di Museum Kairo. Dengan kemampuan autopsinya dia berusaha mengungkap penyebab kematian para raja Mesir kuno itu. Hasil penelitian yang diperoleh sangat mengejutkan, bahwa salah seorang firaun jasadnya mengandung garam. Kandungan garam pada tubuh sang mumi membuktikan bahwa dia telah mati karena tenggelam. Jasadnya segera dikeluarkan dari laut dan kemudian dibalsem untuk segera dijadikan mumi agar awet.
Firaun yang tewas karena tenggelam itu adalah firaun Merneptah, anak ketigabelas dari 162 anak Ramses II. Merneptah berlatar belakang militer dan kerap menyerang bangsa Palestina. Merneptah memerintah Mesir selama hampir sepuluh tahun, dari akhir Juli atau awal Agustus 1213 SM hingga kematiannya pada 2 Mei 1203 SM. Sejarah menggambarkan Merneptah sebagai raja prajurit yang berulang kali menyerang Palestina dari tahun ke tahun.
Pada April 1976, Maurice Bucaille menyampaikan kesimpulannya. Dia menemukan bahwa Mérneptah mati karena trauma berskala sangat besar. Jejak guncangan keras yang diterima selama masa hidupnya terlihat di beberapa bagian tubuh. Bagian belakang perut, dada tertekan, ruang tengkorak tertekan, yang menunjukkan kematian hampir seketika dan banyak lesi di sisi kanan.
Bucaille berkesimpulan firaun yang tenggelam ketika mengejar Nabi Musa AS adalah Merneptah, putera Ramses II. Jadi Nabi Musa mengalami dua pemerintahan, yaitu masa Ramses II Yang Agung, dan Merneptah putranya. Pada masa kekuasaan yang panjang, banyak patung Ramses II dibangun.
Ukurannya 8 meter, beratnya mencapai 80 ton. Patung-patung itu dipersembahkan rakyat Mesir buat sang raja. Umur panjang, kaya, banyak anak, dan pemujaan rakyat Mesir terhadap Ramses II, membuat Sang Firaun lupa diri. Dia menahbiskan diri sebagai Tuhan.
Namun, “Tuhan” Ramses II pun akhirnya menjemput ajal pada Juli atau Agustus 1213 SM, dan digantikan puteranya, Merneptah yang kemudian tewas saat mengejar Nabi Musa dan pengikutnya. Bucaille menyusun laporan penelitian yang diyakininya sebagai penemuan baru, yaitu tentang penyelamatan mayat Firaun Merneptah dari laut, dan pengawetannya.
Laporan itu diterbitkan dengan judul Les momies des Pharaons et la midecine (Mumi Firaun; Sebuah Penelitian Medis Modern). Atas penyusunan buku ini, ia menerima penghargaan Le prix Diane-Potier-Boes dari Academie Frantaise dan Prix General dari Academie Nationale de Medicine, Prancis.