Pekanbaru, Gatra.com - Bagi daerah yang identik dengan perkebunan, jatuhnya harga komoditi dipastikan akan mempengaruhi kemampuan ekonomi penduduk setempat.
Di kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) misalnya. Sebagai salah satu sentra perkebunan karet di Riau, anjloknya harga karet telah berdampak massif terhadap geliat perekonomian masyarakat di sana.
Soalnya, harga karet yang tadinya bertengger di angka Rp13ribu-Rp14 ribu perkilogram, melorot menjadi sekitar Rp7ribu-8 ribu perkilogram.
Tak aneh jika kemudian, minat masyarakat Kuansing untuk membudidayakan tanaman itu menjadi berkurang. Kalau tahun 2013 luas areal kebun Karet di sana masih menembus angka di atas 100 ribu hektar, sejak dua tahun belakangan luasan itu menyusut menjadi 60 ribuan hektar.
Realita ini tak pelak menjadi dagangan politisi untuk menarik perhatian masyarakat yang bakal berhadapan dengan pemilihan Bupati Kuansing tahun depan.
Adalah Suhardiman Amby yang menawarkan janji untuk meningkatkan potensi karet di Kuansing, tentu kalau dia terpiih menjadi Bupati.
"Saat ini kan kondisinya sangat miris. Selain luasan lahan yang berkurang, harganya juga jatuh. Padahal turunan Karet kan bisa dimanfaatkan untuk industri rumah tangga," kata tokoh masyarakat Kuansing ini kepada Gatra.com.
Menurut Suhardiman saat ini petani Karet butuh bimbingan supaya bisa mengelola karet dari hulu hingga hilir.
Selama ini kata politisi Hanura itu, banyak petani mengelolah karet hanya pada bagian hulu. Pola tersebut membuat upaya mencari added value (nilai tambah) dari tanaman karet sukar dilakukan.
"Kalau pasar hulu sampai hilir telah kita kuasai, saya yakin industri karet Kabupaten Kuansing akan lebih maju dari sebelumnya," katanya.
Suhardiman menyebut, tanpa adanya perubahan cara pandang dalam mengelolah Karet, dia khawatir tanaman itu benar-benar dianggap tidak memiliki prospek ekonomi. Kalau sudah begitu cara pikir petaninya, mau tak mau cepat atau lambat komoditi ini akan ditinggalkan masyarakat.