Bandung, Gatra.com - Aksi unjuk rasa menolak UU KPK dan RUU KUHP diwarnai lemparan batu dan botol di depan Kantor DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Selasa (24/9). Bahkan di antara pengunjuk rasa merengsek masuk ke halaman gedung setelah membobol gerbang.
Berdasarkan pantauan, massa dari berbagai kelompok dan mahasiswa berdatangan secara bergelombang sejak pukul 12.00 WIB. Hingga akhirnya menyemut di depan Kantor DPRD Jabar.
Awalnya aksi berjalan tertib, massa mengkritisi rencana RUU KPK dan RUU KUHP. Mereka menilai RUU hanya untuk kepentingan elite.
"Rakyat indonesia sangat kecewa. RUU dilemparkan mendadak dan terburu-buru," teriak salah satu orator.
Massa juga menyoroti kebakaran hutan yang dinilai berimplikasi pada tindakan korupsi. "Hutan tidak terbakar sendiri. Tapi ada yang membakarnya. Yang membakarnya oligarki. Pemerintah Jokowi tidak sanggup lagi mengemban amanatnya," imbuhnya.
Tak berselang lama, para massa mendesak ingin memasuki gedung DPRD Jabar. Beberapa di antaranya melemparkan batu dan botol air minerl ke arah polisi, situasi pun memanas.
Situasi sempat diredam setelah polisi meminta massa agar jangan terprovokasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Namun, tak lama kemudian kembali terjadi pelemparan batu dan botol air mineral. Bahkan beberapa di antaranya terus mencoba merengsek masuk ke halaman gedung.
Polisi pun terpaks mengerahkan mobil water canon dan gas air mata, otomatis para demonstrans berlarian ke berbagai arah. Setelah massa bubar, Polisi langsung melakukan barikade untuk penyekatan keamanan.
Sementara tepat di depan Kantor Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung Jalan Diponegoro, Bandung ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat (ALAMM) Jawa Barat melakukan aksi diam. Mereka menuntut agar KPK bersih dari oknum-oknum yang mengedepankan kepentingan individu atau kepentingan kelompok dengan cara merongrong keberadaan KPK.
"Bersihkan KPK dari petualang politik, pemerintah harus segera mengambil langkah dan bersikap tegas sehubungan dengan adanya pimpinan KPK yang mengundurkan diri serta sebagian lainnya ada yang mengembalikan mandatnya kepada Presiden, meminta KPK untuk tunduk dan patuh terhadap UU KPK yang berlaku," ujar Kordinator aksi Iqbal Firmansyah.
Dia sampaikan, harus dipahami bilamana KPK merupakan salah satu lembaga resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya keberadaan KPK bukan merupakan ormas, juga keberadaan KPK bukan sebuah lembaga swadaya masyarakat.
"Perlu dipertegas bahwa KPK adalah lembaga resmi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka kerja-kerja KPK dan segala hal yang terkait KPK harus diatur dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia," katanya.
Setelah disahkannya Revisi ke-3 dari UU KPK pada tanggal 17 September 2019, dia sampaikan, tidak harus dibesar-besarkan sebagai upaya untuk melemahkan keberadaan KPK. Sebagai lembaga resmi, sepatutnya KPK semakin professional dalam bekerja dan menyesuaikan diri dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang telah disahkan oleh DPR.
"KPK tidak sepatutnya membangun opini seakan-akan KPK telah dilemahkan kanya karena adanya revisi UU KPK. Masih banyak rakyat Indonesia yang tetap dan akan terus mendukung keberadaan KPK agar semakin kuat, professional, efektif dan efisien dalam bekerja serta semakin digdaya sebagai lembaga yang mengawal aset kekayaan bangsa dari tindakan korupsi," paparnya.