Jakarta, Gatra.com - Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, cukai mengendalikan konsumsi barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik tertentu.
Penekanan ini diugkapkan Pengamat Ekonomi, Enny Sri Hartati dalam diskusi di Cikini, Jakarta, pada Senin (23/9).
"Sebenarnya kalau pemerintah dari seluruh kementerian konsisten terhadap implementasi UU ini, mestinya tidak ada celah untuk terjadinya polemik atau perdebatan (mengenai kenaikan tarif cukai rokok)," katanya.
Enny menegaskan, yang harus dikendalikan adalah konsumsi rokok di masyarakat, bukan pada produksi, perusahaan, industri, bahkan petani tembakau.
Enny menyebutkan pendapatan negara dari industri hasil tembakau (IHT) mencapai 80%.
"Beban terhadap suatu hasil produk industri yang dikomersialkan lebih dari 80% itu tidak ada, selain rokok. Artinya, untuk pembebanan pengembalian produk ini sudah lebih dari cukup," ujarnya.
Menurut Enny, jika kenaikan cukai rokok mencapai 23% akan berakibat pada penurunan produksi rokok khususnya Sigaret Kretek Tangan (SKT). Padahal, SKT merupakan sebuah industri padat karya yang melakukan pelintingan rokok secara manual.
"Ini harus dilihat mana yang dampak negatifnya terkecil tetapi masih bisa dikompensasi oleh dampak positif nya. Kalau yang masih bisa memberikan manfaat terkorbankan, berarti kebijakan itu bukan yang terbaik," kata Enny.
Karena itu, Enny menegaskan, UU 39/2007 memandatkan pengendalian konsumsi. Maka, hal ini disebutnya sebagai acuan ideal dalam merumuskan kebijakan yang baik.