Jakarta, Gatra.com - Pengamat Ekonomi, Enny Sri Hartati menyebut cukai rokok merupakan salah satu penerimaan negara yang tidak mengalami penurunan. Bahkan, selalu melampaui target.
Namun, menurut Enny, itu hanya dapat terjadi bila kenaikan tarif cukai rokok maksimal hanya 10%.
Enny mengungkapkan tahun 2017 lalu, sempat terjadi kenaikan cukai rokok di atas 10% yang berakibat pada penurunan jumlah penerimaan negara.
"Penerimaannya masih naik tetapi kenaikannya mengalami penurunan yang sangat drastis," katanya di Cikini, Jakarta, Senin (23/9).
Enny mengatakan, jika kenaikan cukai rokok di atas 10% ini diterapkan kembali, akan berakibat pada penerimaan negara. Terlebih, saat ini daya beli masyarakat rendah serta rentan goncangan perubahan.
"Kita harus perbandingkan antara elastisitas dari kenaikan cukai terhadap produksi, dan kenaikan elastisitas dari kenaikan cukai ini terhadap konsumsi," ucap Enny.
Enny menyebutkan, berdasarkan prediksi yang diungkapkan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), kenaikan cukai rokok sebesar 23% pada 2020 akan berdampak pada penurunan produksi sebanyak 15%.
"Kalau penurunan produksinya sampai 15%, maka ini akan mempunyai pukulan balik terhadap target penerimaan negara. Penerimaan negara bisa saja bukan mengalami kenaikan, namun terjadi penurunan," jelasnya.
Padahal, lanjut Enny, target penerimaan cukai dalam RAPBN tahun 2020 naik 9,5% menjadi Rp173 triliun. Jadi, tujuan untuk meningkatkan penerimaan negara malah kontraproduktif, yang berdampak pada penurunan penerimaan negara.