Semarang, Gatra.com - Wajah dan senyum Annamarie Faber Van der Meulen (60) sumringah, langkah kakinya terhenti saat tiba di gerbang Makam Kehormatan Belanda Ereveld Kalibanteng Semarang, Jawa Tengah, Senin (23/9). Asanya untuk menemukan jejak makam sang nenek segera terkabul.
Wanita baya itu sengaja datang ke Ereveld Kalibanteng, bersama rombongan sebanyak 16 orang Belanda. Khusus mencari jejak leluhur moyangnya yang sempat hidup pada masa kolonial Belanda di Kota Semarang.
Dia mengaku baru pertama kalinya berziarah ke makam ibu dari ayahnya itu. Moyangnya merupakan salah satu diaspora pada masanya, menetap di Semarang bersama para serdadu dan diplomat Belanda kala itu. "Kunjungan pertama saya, dan senang sekali bisa menemui grand mother meski hanya sebuah makam beliau," kata Annamarie.
Anna mengatakan, nenek buyutnya meninggal tanggal 23 September 1945. Pada usia 60 tahun lantaran sakit dan sulitnya obat-obatan saat itu. Saat itu sedang ada peralihan penjajahan dari Belanda ke Jepang.
Begitu antusiasnya dia, cuaca terik Kota Semarang tak menyurutkan dia untuk menjejak satu persatu nisan makam, membaca satu persatu dari 3 ribuan nisan nama-nama makam. Mencoba menemukan nama sang nenek.
Padahal, panitia kunjungan Oorlogs Graven Stiching (Yayasan makam perang dunia Belanda) untuk Indonesia, sudah menandai dimana nisan makam-makam yang akan dituju para rombongan itu. Annamarie lalu menaruh karangan bunga pada nisan neneknya.
"Saya suka sekali ke tempat ini, semoga tahun depan bisa kembali ke Semarang Indonesia. Ada sejarah keluarga saya di sini," katanya.
Annamarie terkesan dengan ribuan makam di Ereveld Kalibanteng, selain rapi dan bersih, pohon-pohon besar membuat kawasan makam sangat asri dan terawat. Tidak kumuh seperti Ereveld yang ada di negerinya Belanda.
"Di Belanda cuman rerumputan dan jarang sekali ada pohonnya. Kalau di sini mudah untuk menanam pohon, sangat terawat," ujarnya.
Robbert van de Rijdt, Director Oorlogs Graven Stiching untuk Indonesia mengatakan, sebagian besar yang dimakamkan di Ereveld Kalibanteng adalah para sipil yang menjadi korban perang dunia, kebanyakan para pengasingan tawanan milik Jepang.
"Seperti dari Ambarawa, Banyu Biru, Lampersari, dan Karangpanas. Mereka tewas akibat kesengsaraan yang dialami selama berada dalam tahanan Jepang periode 1942-1945," jelasnya.
Ereveld Kalibanteng, menurut Robbert, merupakan salah satu dari tujuh Ereveld di Pulau Jawa. Di antaranya, Ereveld Menteng Pulo (Jakarta), Ancol (Jakarta), Pandu (Bandung), Leuwigajah (Cimahi), Kalibanteng (Semarang), Candi (Semarang), Kembang Kuning (Surabaya).
"Sekitar ada 3.000 jenazah yang diistirahatkan di Ereveld Kalibanteng ini. Selain warga Belanda, ada juga warga Indonesia yang dimakamkan di sini," katanya.
Menurut dia, setiap tahun akan ada kunjungan warga Belanda ke beberapa Ereveld di Indonesia, salah satunya di Ereveld Kalibanteng Semarang. "Kami akan ajak mereka untuk berdoa dan menaruh bunga kehormatan, biasanya kami bawa ke Monumen Ibu dan Anak di Ereveld Kalibanteng," katanya.
Saat ini, Ereveld Kalibanteng terbuka untuk umum, masyarakat bisa masuk area makam, tentunya dengan meminta ijin dari penjaga makam. Tidak dipungut biaya alias gratis. Hanya saja masyarakat untuk bisa menjaga kebersihan dan ketertiban.
"Siapapun boleh berkunjung ke Makam Kehormatan Belanda ini. Tidak dipungut biaya alias gratis. Di sini pengunjung bisa berwisata sejarah, bisa memahami apa saja yang ada di Ereveld Kalibanteng ini," katanya.