Jakarta, Gatra.com - Asosiasi Pembangunan Rumah (Apersi) menilai, keputusan Bank Indonesia (BI) menurunkan DP rumah sebesar 5% mampu meningkatkan industri properti di Indonesia. Meski, kebijakan itu terkesan terlambat karena industri properti sudah lesu sejak tahun lalu.
Ketua Umum Asosiasi Pembangunan Rumah (Apersi) Junaidi Abdillah mengatakan, kebijakan pelonggaran pelonggaran Rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) sangat dibutuhkan saat ini. Sebab, hal ini dapat mendorong keberlangsungan industri properti agar tetap eksis.
"Bagus sekali sudah ada kemauan untuk melakukan itu. Semenjak serapan bisnis properti menurun, seharusnya kebijakan itu langsung merespon. Namun, tidak ada kata terlambat," kata Junaidi saat dihubungi Gatra.com di Jakarta, Senin (23/9).
Menurut Junaidi, seharusnya BI lebih responsif melihat kondisi industri properti di Indonesia. BI semestinya mengeluarkan kebijakan pelonggaran ini sejak satu tahun yang lalu.
"Tentu kebijakan ini akan meningkatkan daya beli masyarakat untuk membeli rumah dan properti. Tentunya, ini sesuatu yang sangat baik, kita sambut sangat baik," ujarnya.
Ia mengatakan, melalui kebijakan ini, minat properti diharapkan lebih meningkat. Masyarakat telah menunggu penurunan DP rumah agar mudah berinvestasi.
Junaidi mengatakan, industri properti kerap menjadi salah satu penunjang perekonomian Indonesia. Artinya, menurunnya industri properti justru berdampak buruk bagi sektor lain seperti industri semen, mebel, dan sebagainya.
"Masalahnya kalau properti tidak digeliatkan lagi, maka sektor lain juga akan terganggu. Di situ ada pabrikasi dan industri bangunan. Industri properti rumahan lesu, jadi berpengaruh terhadap sektor lain seperti semen, mebel, dan industri lainnya. Kalau diberi kelonggaran 5% untuk uang muka, maka akan memunculkan gairah pada industri properti," tuturnya.
Selanjutnya, menurut Junaidi, kebutuhan masyarakat terhadap rumah semakin besar. Hal itu harus dipenuhi oleh perusahaan industri properti di tanah air.
"kalau melihat data padlock [kebutuhan akan rumah] sebesar 11 juta. Berarti kan masyarakat sangat membutuhkan rumah. Kalau membutuhkan, berarti industri propertinya harus hidup. Industri properti ini tidak boleh berhenti karena ini menjadi salah satu kebutuhan pokok," ujarnya.
Junaidi menuturkan, kebijakan BI tidak dapat dirasakan secara langsung. Hal ini membutuhkan waktu karena prosesnya panjang dan dilalui dalam setiap transaksi industri properti.
"Ada pada tahapan awal sampai transaksi penjualan. Itu kan butuh waktu. Nah, sampe masuk ke perbankan, kan butuh waktu. Nah, ketika satu atau dua bulan ke depan ini, kan sudah baru akan dirasakan. Ketika masyarakat sudah menikmati pelonggaran ini, atau transaski di perbankan sudah berjalan, jadi tidak bisa langsung dirasakan efeknya. Tetap butuh waktu [sekitar] satu atau dua bulan," ujarnya.
Meski demikian, Junaidi mengatakan, mahalnya biaya produksi menjadi hambatan bagi perusahaan industri properti dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Beberapa faktor disebabkan, harga lahan dan bahan bangunan semakin meningkat.
"Peraturan atau kebinakan kerap kali selalu berubah, dan itu akan menimbulkan ketidakpastian. Begitu juga dengan biaya produksi yang semakin meningkat karena [beragam] material. Kemudian ditambah penjualan yang menurun, membuat properti semakin lemah," katanya.
Seperti diketahui, pertumbuhan sektor properti masih jauh dari harapan. Pasalnya, kontribusi sektor properti terhadap ekonomi selama lima tahun terakhir masih di bawah 3%, dan 2019 diprediksi relatif sama dengan beberapa tahun sebelumnya.
Selain itu, BI melalui rapat RDG - nya telah mengambil kebijakan berupa pelonggaran Rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) untuk kredit atau pembiayaan properti sebesar 5%.