Padang, Gatra.com - Women Crisis Center Nurani Perempuan Sumatera Barat menemukan, 172 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Sumsel selama tiga tahun terakhir.
“Itu baru yang melapor dan ditangani Nurani Perempuan. Belum termasuk dengan korban yang melapor langsung ke pihak kepolisian, atau Lembaga Perlindungan Anak (LPA),” ujar Direktur WCC Nurani Perempuan Sumbar, Meri Yenti kepada Gatra di Padang, Sabtu (21/9).
Ia mengatakan, pada 2016 terjadi kekerasan seksual sebanyak 54 kasus. Kemudian meningkat pada tahun berikutnya menjadi 72 kasus. Sedangkan pada 2018, tercatat ada 46 kasus pelecehan dan kekerasan seksual di Sumbar.
Sedangkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak secara keseluruhan (termasuk KDRT, penelantaran, dll) meningkat setiap tahunnya. Dari 109 kasus pada 2016, menjadi 154 kasus pada 2018.
“Karena masih tingginya angka kekerasan seksual di Sumbar itu, kami mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksul segera disahkan DPR RI,” ucapnya.
Sementara itu, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumbar juga mencatat kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2017 tercatat sebanyak 117 kasus, 58% di antaranya merupakan tindak kejahatan seksual. Sedangkan pada 2018, sebanyak 102 kasus kekerasan, dengan tindakan kejahatan seksual bertambah menjadi 62%.
“82 persen korban kekerasan dan kekerasan seksual berasal dari kelas menengah ke bawah. 53 kasus diantaranya pelaku berada di bawah umur 14 tahun,” ujar Ketua LPA Sumbar, Eri Gusman di Padang.
Ery melanjutkan pelaku kekerasan ternadap anak terbagi di empat lingkungan. Pertama di lingkungan rumah, pelaku adalah ayah kandung atau ayah tiri, kakak, paman, tukang kebun, sopir jemputan dan kerabat dekat keluarga.
Di lingkungan sekolah, pelakunya adalah guru reguler, guru spiritual, penjaga sekolah, pihak keamanan sekolah, tukang kebun sekolah dan pengelola sekolah.
Di lingkungan sosial pelaku biasanya adalah tetangga, pedagang keliling dan teman sebaya. Ada juga di lingkungan panti atau boarding school dengan pelaku pegelola panti dan pengasuh.
Ery menilai, penegakan hukum terhadap kejahatan seksual terhadap anak belum menunjukkan keberpihakan anak sebagai korban. Ia melihat aparat penegak hukum masih mengunakan kaca mata kuda dalam menangani perkara kejahatan dan kekerasan seksual terhadap anak.
"Putusan Hakim dalam perkara kejahatan seksual masih belum mencerminkan rasa keadilan bagi korban," ujar Ery.
Ery mengatakan, faktanya menunjukkan, masih banyak hakim memutuskan bebas dan hukuman minimal bagi para pelaku kejahatan seksual. Kejadian di beberapa pengadilan Sumatera Barat, alasannya tidak cukup bukti.
Sebagai informasi, UU RI. No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak mensyaratkan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun.