Yogyakarta, Gatra.com- Pengamat pariwista Univeritas Gadjah Mada menilai hingga kini pemerintah dan pelaku wisata belum kompak soal konsep dan penerapan wisata halal di industri pariwisata. Jika pemerintah tetap tak kompak, besarnya potensi pasar wisata halal akan digarap negara lain.
Pandangan ini disampaikan dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM, Siti Daulah Khoirati. Siti salah satu dari lima penulis penelitian ‘Debating Halal Tourism between Values and Branding: A Case Study of Lombok, Indonesia’.
Riset itu meneliti perkembangan wisata halal besutan Lombok, Nusa Tenggara Barat pada 2016. Sejak digulirkan pada 2015, wisata halal di Lombok mendapat penghargaan setiap tahun. Lombok juga menjadi rujukan wisata daerah lain seperti Padang, Aceh, dan Yogyakarta.
“Selama penelitian, dari sisi pemerintah baik di pusat maupun regional, khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki sudut pandang yang sama bahwa wisata halal belum bisa diterapkan. Padahal banyak negara yang menggarap pasar wisata halal,” jelas Siti, saat ditemui Gatra.com di kampus UGM, Jumat (20/9)
Ia lantas mencontohkan Malaysia dan Brunei Darussalam yang mendeklarasikan diri sebagai satu-satunya tujuan destinasi wisata halal di Asia Tenggara hingga mampu menarik ribuan wisatawan dari Timur Tengah.
Melimpahnya cuan dari wisata halal ini ternyata malah ditiru dan dikembangkan negara-negara non-muslim. Singapura, Thailand, Vietnam, Jepang, Korea Selatan, bahkan Cina mencoba mengembangkan konsep ini.
“Pada dasarnya wisata halal itu berbasis pada kebutuhan. Konsep ini dihadirkan sebagai tambahan saja untuk menjawab kebutuhan wisatawan tanpa harus mengubah keseluruhan sarana dasar pariwisata yang sudah ada,” jelasnya.
Siti dan tim peneliti menduga kendala perkembangan wisata halal di Indonesia karena pemerintah memiliki sudut pandang berbeda dengan pelaku wisata. Pemerintah membayangkan bahwa konsep wisata halal akan mengubah seluruh citra industri pariwisata yang sudah berkembang. Adapun pelaku wisata halal mengklaim wisata halal tidak merusak konsep wisata.
Dalam penelitian itu, Siti memaparkan pada dasarnya memenuhi kebutuhan wisatawan dalam wisata halal amat sederhana. Pemerintah dan pelaku wisata tidak perlu melakukan perubahan ekstrim. Ia lantas mencontohkan pengelola wisata cukup memberi ruang khusus atau kemudahan bagi wisatawan muslim untuk melaksanakan ibadah.
“Saya pikir penyediaan tempat ibadah sudah dilakukan banyak destinasi wisata. Tinggal bagaimana memberi kemudahaan bagi wisatawan untuk menjangkaunya. Ini sama seperti akomodasi. Kita tinggal sampaikan mana saja hotel-hotel yang melayani wisatawan muslim,” katanya.
Untuk makanan, Siti menyatakan Indonesia memang butuh kerja keras. Meskipun sajian kuliner Indonesia kebanyakan halal, wisatawan membutuhkan bukti bahwa makanan itu halal lewat sertifikasi halal oleh lembaga resmi.
“Sertifikasi halal ini menjadi penting karena pasar wisata halal menyatakan itu adalah syarat dasar. Pemerintah harus memberi kemudahan,” katanya.
Siti menilai bila dibandingkan negara-negara pesaing di ASEAN, Indonesia sebenarnya berpotensi besar di wisata halal. Hal ini karena Indonesia punya panorama lebih indah dan kebudayaan yang tidak jauh dari nilai-nilai Islami.
“Yang terbaru, wisatawan dari Timur Tengah ini beberapa waktu terakhir cenderung tidak mencari hiburan saat berwisata. Kecenderungannya sekarang mereka ingin merasakan pengalaman menjalankan ibadah di tempat berbeda, makanan yang berbeda, dan pengobatan tradisional yang sudah dinyatakan halal. Ini semua dimiliki Indonesia,” katanya.
Siti menjelaskan, laporan Global Moslem Lifestyle Travel Market melaporkan pada 2012 wisatawan muslim di seluruh dunia menghabiskan 137 miliar dollar US. Jumlah ini meningkat 4,3 persen menjadi 140 miliar dollar US pada 2013 dan melonjak hingga 181 milliar dollar US pada 2014.