Jakarta, Gatra.com - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yasonna Laoly mengklarifikasi delik aborsi dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Meskipun Presiden Joko Widodo telah memutuskan untuk menunda pengesahan Kitab Hukum Pidana ini.
Dalam draf final RKUHP tertanggal 15 September 2019 pada pasal 470 berbunyi "Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun".
Menurut Yasonna ancaman pidana dari RKUHP saat ini lebih rendah dari KUHP yang berlaku sebelumnya. Karena KUHP lama pelaku aborsi dapat dipidana penjara selama dua belas tahun. Yakni pada pasal 347 yang berbunyi; barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
"Ini juga ada di Undang-undang kita yang sekarang di KUHP yang sekarang, eksisting, ancamannya berat, 12 tahun, tapi kan sekarang dunia sudah berubah maka diatur ancaman pidana yang lebih rendah," kata Yasonna di Gedung Kemenkumham, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Jumat (20/9).
Lanjut Yasonna, pasal ini juga tidak berlaku untuk korban pemerkosaan. Serta orang-orang mesti melakukan tindakan pengguguran karena alasan medis. Mekanismenya menurut Yasonna juga telah diatur dalam Undang-undang Kesehatan.
"Karena alasan medik, mengancam jiwa misalnya," katanya mencontohkan.
Selain itu Yasonna juga menampik tuduhan RKUHP yang digodok ini tak memperhatikan masalah perempuan. Politisi PDIP ini mengatakan bahwa dalam pembahasan rancangan Kitab Pidana ini juga mengikutsertakan ahli hukum yang juga pemerhati HAM dan isu perempuan.
"Dalam pembahasan ini ada Prof Tuti yang mantan Dirjen HAM yang sangat pro gender," tambahnya.