Jakarta, Gatra.com - Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjajaran Dina Yulianti Sulaeman mengungkapkan bahwa harian dan media online Republika bertanggungjawab atas radikalisme yang menurutnya marak terjadi belakangan ini.
"Republika bertanggungjawab atas radikalisme hari ini di Indonesia, dimana sejak perang Suriah aktif memberitakan bahwa di Suriah ada pembantaian orang sunni oleh Syiah," ujar Dina dalam diskusi yang diselenggarakan Remotivi di Aula Komplek DPR Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (19/9) malam.
Bahkan Dina menyebut nama mantan Pemimpin Redaksi Republika, Ikhwanul Kiram Mashuri ia anggap telah bersikap sangat diskriminatif terhadap Syiah.
"Bahkan Ikhwanul Kiram menulis musuh besar umat Islam bukan hanya zionis tapi syiah dan rezim Bashar Assad, Luar biasa besar dosanya itu," kata Dina yang aktif menulis tentang konflik Suriah ini.
Namun, Dina menyebut ada beberapa wartawan Republika Online yang kerap berinteraksi dengannya punya kesadaran yang lebih baik.
"Ada beberapa wartawan online Republika punya kesadaran, kadang-kadang ada yang sangat menyudutkan Assad, ada yang memberikan klarifikasi sehingga memberitakannya proporsional," jelas Dina.
Kendati demikian, Dina menyebut Republika sempat menuliskan klarifikasi terkait konflik di Suriah dengan mewancarai Dubes RI untuk Suriah kala itu yakni Djoko Harjanto.
Dina tidak terima terhadap pemberitaan Republika sebab menurutnya, momentum bangkitnya radikalisme di Indonesia dimulai dari diimpornya isu konflik Suriah ke Indonesia.
Menanggapi pernyataan Dina, Jurnalis Senior Andreas Harsono menyatakan kritik Dina sangat kuat sebab menurutnya hari ini banyak jurnalis yang kurang tepat dalam melakukan peliputan terkait agama.
"Kritik soal Republika tadi menurut saya sangat kuat, kalau saya mengkritik, biasanya saya lihat dulu kebenaran seperti apa yang dia tuju, kebenaran ini seharusnya kebenaran fungsional. Yang terjadi di Indonesia kebenaran itu bukan kebenaran fungsional, kebenaran menurut banyak wartawan saat ini kebenaran sesuai agama dia, sehingga ada istilah sesat, menyesatkan menyimpang," papar Andreas.
Menurut Andreas, jurnalisme di Indonesia hari ini harus dikembalikan ke dalam fungsinya untuk mewartakan peristiwa. "Kita perlu mengembalikan jurnalisme Indonesia tujuan kita tujuan fungsional, praktis," tegas Andreas.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra Arief menyebut bahwa ada diskriminasi yang distrukturkan secara sosial melalui teknologi informasi di media sosial.
"Kalau bicara dalam konteks media, ada diskriminasi yang distrukturkan secara sosial, ada istilahnya algoritma, hari ini orang perang buzzer untuk menciptakan ruang internet yang seragam dan orang semakin keras terpapar," terangnya.