Jakarta, Gatra.com - Kementerian Pertanian (Kementan) terus mengingatkan petani bawang putih dan pihak terkait untuk menerapkan prinsip ladorfisio agar tidak menanam bibit bawang putih palsu.
"Untuk itu, ingat prinsip ladorfisio. Ladorfisio itu diambil dari singkatan kata label, dormansi, fisik, siungn, dan oplosan," kata ?Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto, dalam keterangan tertulis, Kamis (19/9).
Prihasto menjelaskan, agar petani atau pihak terkait tidak menanam bibit bawang putih palsu maka harus mengecek keaslian label dan putus dormansi.
"Cek fisik apakah bawang putih lokal atau konsumsi dari Tiongkok. Pastikan jangan dalam bentuk siung atau pipilan. Terakhir, jangan oplosan antara bawang putih lokal dan konsumsi dari Tiongkok," katanya.
Anton, demikian sapaan akrab dirjen di Kementan yang masih belia ini, menekankan, bahwa ladorfisio adalah deteksi dini kualitas benih bawang putih yang akan ditanam. Untuk keberhasilan penanaman bawang putih tehnik budidaya perlu diperhatikan.
"Petani tentunya perlu memperhatikan cara olah tanah yang baik, drainase lahan yang baik, ketinggian lahan yang sesuai. Selain itu, atur kecukupan air, gunakan pupuk anorganik dengan kandungan NPK yang cukup, pupuk kandang yang cukup. Terpenting, pemberantasan hama dilakukan secara terpadu," katanya.
Kementan, lanjut Anton, terus menyosialisasikan prinsip ladorfisio di antaranya demi mendorong produksi dan perluasan tanam bawang putih dalam rangka mencapai swasembada bawang putih pada 2021.
Melalui skema APBN, wajib tanam dan produksi oleh importir serta swadaya petani diakui sukses menghasilkan. Angka luas tanam pada 2018 naik mencapai 8 ribu hektare yang sebelumnya stagnan di angka 1,9 ribu hektare.
Di tengah massifnya perluasan kawasan, tentu saja benih sangat menentukan keberhasilan program, baik sisi kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini ditengarai menjadi ajang oknum tidak bertanggung jawab untuk menghasilkan keuntungan dengan cara memalsukan benih.
Berkaca dari pengalaman tahun lalu, ungkap Anton, modus kejahatan di antaranya dengan pemalsuan label benih. Kedua, benih lokal berlabel asli, namun setelah diperiksa benihnya dioplos. Kondisinya, benih lokal dicampur dengan bawang putih konsumsi.,Ketiga, benih lokal berlabel asli, namun setelah dicek seluruhnya diganti oleh penyedia benih dengan bawang putih konsumsi.
Adapun modus pemalsuan termutakhir yakni menggunakan label asli, benih lokalnya juga asli, tidak oplosan dengan bawang putih konsumsi, masih dalam bentuk umbi namun ternyata dioplos dengan sesama bawang putih lokal yang belum putus dormansi.
"Walaupun berlabel asli, jangan mau menerima benih yang sudah pipilan atau siung karena akan sulit membedakan antara benih dan bawang konsumsi," kata Anton.
Diberitakan sebelumnya, adanya pemalsuan benih ini menyebabkan pertanaman bawang putih gagal panen. Petani dan pelaku usaha merugi dan berdampak petani jera menanam bawang putih. Bahkan, ia memberikan formula untuk mengenali benih asli dengan benih palsu.
Anton menghimbau untuk memastikan secara acak apakah benih yang berlabel tersebut sudah putus masa dormansinya atau tidak.
"Apabila ada keraguan agar disampaikan ke Ditjen Horti melalui Subdit Bawang Merah dan Sayuran Umbi. Jika penyedia benih terbukti melanggar poin- poin di atas, segera laporkan ke pihak berwajib," imbaunya.