Jakarta, Gatra.com - Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) menduga adanya monopoli pengadaan Antiretroviral (ARV) yang menyebabkan berkurangnya ketersediaan obat untuk para penderita HIV/AIDS.
Diketahui, monopoli ini merupakan imbas dari kegagalan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) atas tender pengadaan obat, karena ketidaksepakatan harga antara pemerintah dan perusahaan farmasi yang memiliki izin edar obat yakni PT Kimia Farma dan PT Indofarma di awal tahun 2019 lalu.
Divisi Advokasi Seknas Fitra, Gulfino Guevarrato mengatakan, dugaan adanya monopoli yang berpotensi korupsi pengadaan obat ini dipicu oleh perbedaan harga yang cukup signifikan antara harga yang dibeli dari India dan PT Kimia Farma.
"Harga beli pemerintah kepada PT Kimia Farma untuk obat di tahun 2016, tercatat mencapai harga Rp385.000 per botol. Sementara, berdasarkan dokumen resmi dari agen pengadaan obat internasional, harga obat ini hanya berkisar US$ 8-9 per botol (sekitar Rp115.000 per botol). Artinya, ada selisih sekitar Rp270.000 per botol keuntungan yang masuk perusahaan BUMN farmasi selama ini," ujarnya di Bakoel Koffie, Jakarta Pusat, Kamis (19/9).
"Kami menilai ini sebagai indikasi korupsi. Kejaksaan Agung pada tahun 2018 telah meningkatkan status dari penyelidikan ke penyidikan terhadap potensi korupsi pengadaan vaksin dan obat HIV AIDS di Kemenkes yang melibatkan PT Kimia Farma,” lanjutnya.
Menurut Gulfino, Kemenkes sebagai pemegang kebijakan sangat perlu merumuskan aturan untuk anggaran pengadaan ARV. Selain itu juga mengoptimalkan formularium nasional (fornas) dan e-catalog yang bertujuan untuk mengendalikan harga obat supaya tidak melambung tinggi.