Jakarta, Gatra.com - Ketua Panja revisi undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Mulfahri Harahap mengatakan ada beberapa poin krusial dalam RUU tersebut. Pertama, soal penerapan asas legalitas pasif.
"Berdasarkan asas tersebut, hukum positif yang tertulis atau tidak tertulis, dapat diterapkan di Indonesia supaya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan asas hukum lainnya," kata Mulfahri, Rabu (18/9).
Kedua, lanjutnya, perluasan pertanggungjawaban pidana, yakni korporasi bisa menjadi subjek hukum pidana sehingga bisa dimintai pertanggungjawaban hukum.
"Ketiga, penerapan doktrin ultimum remedium dengan tujuan pemidanaan tidak menderitakan tetapi memasyarakatkan dan pembinaan," ujarnya.
Tindak pidana diatur secara khusus dengan membedakan sistem pemidanaan dan tindakan, dengan sistem pemidanaan untuk orang dewasa. Jenis-jenis pemidanaan juga diperluas sehingga tidak berorientasi pada pidana penjara.
Pada poin keempat, pidana mati bersifat khusus yang selalu diancam secara alternatif. Alternatif harus diancamkan dengan pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun. Selain itu harus diatur dengan syarat-syarat atau kriteria khusus dalam penjatuhan pidana mati.
"Kemudian, Kelima, RUU KUHP bagian dari rekodifikasi dan pengaturan terhadap berbagai jenis tindak pidana yang telah ada di KUHP dan undang-undang terkait lainnya. RUU KUHP telah disesuaikan dengan perkembangan masyarakat modern."
Terakhir, dalam RUU KUHP diatur dengan kriteria yang jelas dan pasti untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana khusus.
"Hal ini untuk merespon perkembangan teknologi dan komunikasi yang telah mempengaruhi kejahatan yang lebih luas, lintas batas dan terorganisir," jelas Mulfahri.