Jakarta, Gatra.com - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan potensi korupsi di sektor Minyak dan Gas (Migas) cukup besar. Menurutnya, korupsi yang terjadi di sektor Migas telah lama terjadi, dan melibatkan mafia migas di Indonesia.
Radhi menambahkan, keadaan ini diperparah dengan pelemahan penegakkan hukum pasca pengesahan revisi Undang-undang nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh DPR RI.
"Sebelumnya, pemberantasan korupsi di sektor migas itu butuh waktu 4 tahun. Apalagi sekarang dengan UU KPK baru, kalau harus menunggu izin dewan pengawas, bisa membutuhkan waktu 10 tahun mengungkap korupsi di sektor migas," ujarnya dalam acara diskusi yang digelar di Cikini, Jakarta, Rabu (18/9).
Ia juga menegaskan, butir poin UU KPK baru yang mengharuskan perolehan izin penyelidikan dari dewan pengawas sangat tidak tepat. Baginya, itu sama saja dengan memberatkan kerja KPK dalam menjaring mafia migas.
"Kalau penyidik mau menyelidiki aliran dana, kemudian tidak mendapat izin atau izinnya lama itu akan memperlambat KPK mengusut penyimpangan atau potensi korupsi yang ada di migas, baik di hulu, mid term, maupun di hilir," tambah Radhi.
Dia juga khawatir, kebijakan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun dalam revisi UU KPK bakal membebaskan tersangka mafia migas yang saat ini masih dalam proses penyelidikan.
"Saya khawatir ada moral hazard dengan penyalahgunaan SP3. Misalnya ada kasus korupsi Migas yang sedang diusut KPK, dan butuh waktu lama, sampai melewati dua tahun, kemudian dibebaskan. Jadi akan semakin banyak koruptor yang dibebaskan dengan menggunakan SP3 tadi," ungkapnya.