Jakarta, Gatra.com - Tim Advokasi Papua yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil, aktivis dan pengacara melaporkan Polda Metro Jaya ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) terkait dugaan pelanggaran proses penangkapan, penahanan maupun penyidikan enam aktivis Papua, yang ditahan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi, Suar Budaya Rahadian menyebut ada sedikitnya ada lima dugaan pelanggaran yang dilakukan penyidik Polda Metro Jaya.
“Pertama, adanya dugaan penghalangan akses bantuan hukum kepada enam aktivis, satu di antaranya adalah juru bicara Forum Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Surya Anta,” kata Suar, di Kantor Kompolnas, Jakarta, Rabu (18/9).
Pada kasus tersebut, Suar menyebut bahwa Surya Anta dan kawan-kawan berhak mendapat bantuan hukum sesuai dengan Pasal 54, pasal 57 ayat 1 dan Pasal 70 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP.
"Tindakan kepolisian diduga telah menghalangi hak bantuan hukum sejak proses penangkapan hingga saat ini yang bertentangan dengan KUHAP," kata Suar.
Kedua, lanjut Suar, Polda Metro Jaya dinilai melakukan pelanggaran prosedur penangkapan terhadap tersangka dan saksi. Dalam proses penangkapan terhadap ketujuh aktivis Papua, yakni Carles Kossay, Dano Tabuni, Ambrosius Mulait, lsay Wenda, Ariana Lokbere, Norince Kogoya dan Naliana Wijangge.
“Penyidik diduga tidak menerapkan Pasal 18 ayat (1) KUHAP, Pasal 33 ayat 2 dan Pasal 37 ayat 1 Perkap No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan,” katanya.
Suar menambahkan, penyidik juga diduga melakukan pelanggaran saat memperlakukan dan menempatkan tahanan. Hal itu berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Surya Anta, yang mengaku 'dijejalkan' lagu kebangsaan sepanjang waktu di dalam sel.
"Surya Anta juga ditempatkan di sel berbeda yang disebut Sel Biologis yang kondisinya sangat tertutup, hanya terdapat sebuah vestilasi udara ukuran kecil sehingga kondisi di dalam sangat panas," terangnya.
Tindakan tersebut, kata Suar, bertentangan Pasal 54 Perkap No 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan, bahwa setiap tahanan harus diperlakukan secara manusiawi.
Keempat, Suar mengatakan pihaknya menemukan dugaan pelanggaran prosedur penggeledagan saat menangkap Carles Kossay, Dano Tabuni, Naliana Wasiangge, Ariana Lokbere, Norince Kogoya.
Dalam dugaan pelanggaran itu, penyidik Polda Metro Jaya disebut melakukan penggeledahan di lokasi penangkapan tanpa memperlihatkan surat perintah penggeledahan dan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat dan tanpa disaksikan oleh Ketua RT/RW.
"Ini bertentangan dengan Pasal 33 KUHAP, Pasal 55 ayat (2) dan 57 Perkap No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan," papar Suar.
Kelima, berdasarkan pengakuan dari kuasa hukum enam aktivis itu, penyidik Polda Metro Jaya tidak memberikan turunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersangka kepada enam aktivis atau penasihat hukumnya. Ini juga bertentangan dengan Pasal 72 KUHAP dan pasal 66 ayat 8 Perkap No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan.
"Hingga saat ini penasihat hukum terkendala dalam memberikan bantuan hukum sebagai bagian dari hak tersangka," pungkasnya.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya sempat meringkus mahasiswa dan aktivis Papua pada 1-2 September 2019 lalu. Salah satunya adalah juru bicara Forum Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Surya Anta.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebut penangkapan Surya terjadi di Plaza Indonesia pada Sabtu malam, sekitar pukul 20.30 WIB. Dua orang polisi berpakaian preman menggiringnya ke Polda Metro Jaya.
Surya dituduh melanggar pasal makar setelah rangkaian aksi tolak rasisme yang berujung ricuh di sejumlah titik di Papua dan Papua Barat.