Surabaya, Gatra.com - Polda Jawa Timur menanggapi pernyataan Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mendesak Indonesia untuk membebaskan pengacara sekaligus aktivis HAM, Veronica Koman.
Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Pol Frans Barung Mangera mengatakan, polisi menerima saran itu. Namun, tidak ada satupun pihak yang bisa mengintervensi proses hukum penahanan Veronica Koman.
"Gini, konstitusi dibuat dari kedaulatan Republik Indonesia. Tidak ada satu pun yang dapat mengintervensi. Kalau ada yang memberikan masukan akan didengarkan Republik ini, tapi tidak untuk mengintervensi," katanya saat dihubungi Gatra.com, Rabu (18/9).
Sebelumnya, sederet ahli dari OHCHR, di antaranya Clement Nyaletsossi Voule dari Togo, David Kaye dari Amerika Serikat, Dubravka Šimonovi dari Kroasia, Meskerem Geset Techane dari Etiopia, dan Michel Forst dari Perancis, meminta Indonesia membebaskan Veronica Koman.
"Kami menyerukan langkah-langkah segera untuk memastikan perlindungan kebebasan berekspresi dan mengatasi tindakan pelecehan, intimidasi, campur tangan, pembatasan yang tidak semestinya, dan ancaman terhadap mereka yang melaporkan protes," kata para ahli yang dilansir dari laman resmi OHCHR, Senin (16/9).
Veronica Koman, kata mereka, mengalami pelecehan dan penganiayaan online karena dia terus bekerja pada dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua justru disebut sebagai "tersangka" oleh pihak berwenang. Ahli tersebut menambahkan, polisi menuduh Vero menyebarkan informasi palsu dan memicu kerusuhan setelah dia menerbitkan laporan pada protes dan serangan rasis terhadap siswa Papua di Jawa Timur yang berujung demonstrasi.
“Kami menyambut tindakan yang diambil oleh Pemerintah terhadap insiden rasis, tetapi kami mendesaknya untuk mengambil langkah segera untuk melindungi Veronica Koman dari segala bentuk pembalasan dan intimidasi dan menjatuhkan semua tuduhan terhadapnya, sehingga ia dapat terus melaporkan secara independen tentang hak asasi manusia di negara ini,"kata mereka.
Para ahli juga menyatakan keprihatinan serius atas laporan yang mengindikasikan bahwa pihak berwenang akan mencabut paspornya, memblokir rekening banknya dan meminta Interpol untuk mengeluarkan Pemberitahuan Merah (Red Notice) untuk menemukannya, karena Vero dikatakan berada di luar negeri.
Para ahli menekankan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi tidak hanya merusak diskusi tentang kebijakan Pemerintah, tetapi juga membahayakan keselamatan para pembela HAM yang melaporkan dugaan pelanggaran.
Protes semakin meningkat di Papua dan Papua Barat sejak pertengahan Agustus karena dugaan rasisme dan diskriminasi dan di tengah seruan untuk kemerdekaan.
"Protes-protes ini tidak akan dihentikan oleh penggunaan kekuatan yang berlebihan atau dengan menindak kebebasan berekspresi dan akses ke informasi," kata para pakar PBB.
“Kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengakui hak-hak semua pengunjuk rasa dan untuk memastikan kelanjutan layanan internet. Kami menyambut restorasi internet pada 4 September di hampir semua provinsi Papua dan Papua Barat," imbuhnya.