Jakarta, Gatra.com - Sepekan ini dunia dihebohkan dengan rusaknya fasilitas minyak Arab Saudi di Abqaiq dan Khurais akibat serangan drone. Raksasa minyak negara Saudi, Aramco mengatakan serangan itu memangkas produksi sebesar 5,7 juta barel per hari atau mencapai 50 persen dari total produksi harian.
Serangan terhadap fasilitas minyak Arab Saudi tersebut diprediksi akan memotong lebih dari 5 persen dari pasokan minyak global. Analis menyebutkan serangan ke jantung fasilitas minyak Saudi itu akan memicu kekhawatiran naiknya harga minyak mencapai US$100 (Rp1,4 juta) per barel.
Reuters melaporkan harga minyak mentah Brent ditutup pada angka US$69,02 per barel pada perdagangan Senin (16/9), naik US$8,8 atau 14,6 persen. Persentase kenaikan tersebut merupakan yang tertinggi setidaknya sejak 1988. Brent mencatat lompatan terbesar lebih dari 30 tahun di rekor volume perdagangannya.
Sedangkan untuk harga minyak West Texas Intermediate (WTI) AS berakhir pada US$ 62,90 per barel, melonjak US$ 8,05 atau 14,7%. Kenaikan persentase dalam waktu sehari ini merupakan kenaikan terbesar sejak Desember 2008.
Analis dunia memperkirakan harga minyak naik di kisaran US$5–10 per barel. Pengamat infrastruktur Wibisono mengatakan bahwa harga minyak melonjak sejak Senin (16/9). “Kenaikan harga minyak ini dipengaruhi setelah ladang minyak milik Saudi Aramco di Arab Saudi mendapat serangan dari pesawat tak berawak pada Sabtu lalu. Pemberontak Houthi Yaman mengaku jadi dalang di balik serangan yang melibatkan 10 unit pesawat tanpa awak atau drone tersebut,” ujarnya.
Ia menambahkan kenaikan harga minyak dunia itu akan menjadi dilema bagi Indonesia. Pemerintah melalui Menteri Keuangan menurutnya harus merancang opsi untuk mengantisipasi melambungnya komponen biaya pasca kenaikan harga minyak dunia tersebut. “Opsi-opsi mengatasi keadaan sulit akibat kebutuhan biaya bahan bakar yang lebih besar memang bisa saja ditempuh antara lain dengan menjadwal ulang pos biaya infrastruktur, atau pos lain yang dirasa berlebihan,” ucapnya kepada Gatra.com, Selasa (18/9).
Wibi berpandangan BUMN harus mengambil langkah yang cermat dalam mengantisipasi dampak dari lonjakan harga minyak dunia tersebut. “Kapan opsi-opsi untuk mengatasi dampak dari lonjakan harga minyak dunia itu dilaksanakan?. Mengingat keuangan PLN dan Pertamina sendiri saat ini megap-megap. PLN masih punya “PR” cross default ihwal utang PLN yang dijamin pemerintah pada 2018 lalu,” katanya.
Naiknya harga minyak dunia tersebut menurutnya akan menimbulkan persoalan pada APBN 2019, terutama pada asumsi subsidi energi yang telah ditetapkan sebesar 60 dolar AS per barel. “Tentu saja dibutuhkan penyesuaian pada APBN-P 2019 minimal 80 dolar AS per barel. Beban subsidi energi pada realisasi anggaran APBN 2019 sebenarnya sudah lebih dulu “nombok” akibat naiknya harga minyak dunia di APBN 2018”.
Ia menyebut untuk subsidi energi saat ini hanya dipatok Rp89,9 triliun. Namun kenyataannya beban yang harus ditanggung selama 2018 adalah Rp97,6 triliun atau Rp7,7 triliun lebih besar dari anggaran. “Pertanyaannya apakah dengan semakin besarnya kebutuhan anggaran untuk mensubsidi energi (BBM dan listrik) pada 2018, pemerintah akan mempertimbangkan untuk mengurangi atau bahkan mencabut subsidi BBM dan listrik?, kita lihat bagaimana opsi yang ditempuh,” pungkasnya.