Sleman, Gatra.com – Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo menyebut sejak 2015, baru 33 persen dari 600 ribu bidang tanah di kawasan transmigrasi baru yang bersertifikat.
“Sejak digulirkan 69 tahun lalu, pemerintah gagal memdorong pengembangan kawasan transmigrasi menjadi mandiri. Pemerintah gagal berkonsentrasi,” kata Eko, Selasa (17/9), di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menurut Eko, kegagalan itu tidak hanya dalam produksi pertanian, melainkan juga dalam solusi saat panen dan pemberian nilai tambah produk pertanian. Akibatnya para transmigran yang memiliki harapan hidup lebih baik jatuh lagi dalam kemiskinan.
Dampak panjangnya, lahan gratis yang diberikan oleh pemerintah pada transmigran dipindahtangankan ke perusahaan swasta atau penduduk lokal. Akibatnya, proses sertifikasi lahan terkendala.
“Sejak 2015, Presiden Joko Widodo berkomitmen membantu para transmigran yang belum memiliki sertifikat. Hasilnya, 200 ribu dari 600 ribu lahan di area transmigrasi sudah bersertifikat,” katanya.
Eko mengatakan, lahan yang belum bersertifikat didominasi lahan yang mengalami masalah kepemilikan. Pemilik pertama lahan-lahan itu tidak diketahui padahal lahan telah berulang kali berpindah tangan.
Karena itu, di era Presiden Jokowi, pemerintah daerah diwajibkan membeli lahan para transmigran yang gagal sehingga bisa dimanfaatkan untuk kegiatan lain.
Menurut Eko, di era revolusi industri 4.0 ini, pemerintah tidak ingin menjadikan transmigrasi sebagai program memindahkan kemiskinan. Pemerintah pun mendorong keterlibatan banyak pihak, termasuk dari pemerintah daerah asal transmigran.
“Sejak 2017 kami sudah meluncurkan dana kerjasama daerah yang bertujuan membantu peningkatan ekonomi para transmigran di daerah tujuan. Juga untuk menghindari pelepasan lahan, kami prioritaskan calon transmigran dari kawasan terdekat. Jika kuota terpenuhi baru dibuka untuk calon dari luar daerah,” katanya.