Kebumen, Gatra.com – Petani di kawasan Urut Sewu melaporkan kekerasan yang dialami dalam bentrok antara petani dengan aparat TNI di Desa Brecong, Kecamatan Buluspesantren, Kebumen, Jawa Tengah, kepada Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM). Sekretaris Urut Sewu Bersatu (USB), Widodo Sunu Nugroho mengatakan, aduan resmi sudah dilayangkan ke Komnas HAM. Petani melaporkan tindak kekerasan yang menyebabkan 16 petani terluka. “Untuk pengaduan sudah kami sampaikan ke Komnas HAM,” katanya, Selasa (17/9).
Sunu menjelaskan, selain melaporkan kekerasan yang dialami, petani juga melaporkan konflik tanah antara warga dengan TNI yang tak kunjung selesai. Padahal, petani sudah mengumpukan bukti-bukti kepemilikan tanah, seperti sertifikat. Karenanya, ia berharap agar aduan ke Komnas HAM itu ditindaklanjuti dan akan menjadi awal penyelesaian yang menyeluruh. Dia juga berharap pemerintah, baik Pemkab Kebumen, Pemprov Jawa Tengah juga turut aktif melakukan upaya penyelesaian konflik tanah ini.
Menurut dia, salah satu opsi yang ditawarkan Komnas HAM adalah mediasi. Soal waktu, ia masih menunggu konfirmasi dari Komnas HAM. “Komnas memberi opsi mediasi. Ya nanti waktunya menunggu informasi lebih lanjut dari Komnas HAM,” ujarnya.
Sunu mengungkapkan, saat ini pemagaran dihentikan. Namun, petani belum lega. Pasalnya, pemagaran hanya dihentikan sementara. Sewaktu-waktu pemagaran bisa saja dilanjutkan tanpa pemberitahuan, meski petani yang tanahnya dilintasi pagar memiliki sertifikat.
Dia mengklaim, masyarakat memiliki sertifikat. Dan itu, kata dia, sudah dikomunikasikan sejak tahun 2015. Namun, pemagaran tetap dilakukan meski petani bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan.“Kami ingin agar penyelesaian masalah ini bersifat menyeluruh,” tandasnya.
Sunu mengungkapkan, pihaknya juga masih menunda pelaporan kekerasan yang dialami petani ke kepolisian. Pihaknya masih mempertimbangkan dampak pelaporan tersebut ke korban. Dia tak mau 16 korban menjadi korban dua kali. Pasalnya, saat sudah melapor ke polisi atas tindakan kekerasan tersebut, mereka jelas menjadi saksi yang harus meluangkan waktu, menyediakan biaya, dan yang paling berat adalah risiko kemungkinan intimidasi.
“Kita tidak bisa pungkiri bahwa korban bisa menjadi korban dua kali. Karena sudah jadi korban, kemudian dia harus meluangkan waktu, tentunya dia juga harus menyediakan biaya untuk wira-wiri, dan sebagainya. Belum risiko sosial, seumpama ada intimidasi, misalnya,” ungkapnya.