Jakarta, Gatra.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggelar rapat paripurna dengan tiga agenda, salah satu pengesahan Revisi Undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau revisi UU KPK.
Rapat paripurna pada masa persidangan IX DPR Tahun 2019-2020 dipimpin Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, di Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Selasa (17/9).
Dalam pembukaan sidang, Fahri menyebut ada 289 anggota dewan yang tercatat hadir dan izin dari 560 anggota dewan.
"Hal itu berdasarkan catatan, anggota yang menandatangani daftar hadir adalah 289 dengan kehadiran seluruh fraksi. Maka, rapat Paripurna kami nyatakan dibuka dan terbuka untuk umum," ucap Fahri.
"Anggota Dewan yang terhormat, masa sidang paripurna kali ini juga tentang pembicaraan tingkat kedua pengambilan keputusan terhadap rancangan undang-undang tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi," tambahnya.
Diketahui, adapun pembahasan revisi UU KPK terkait tujuh poin yang telah disepakati oleh Pemerintah dan anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR tadi malam, Senin (16/9), sebagai berikut:
1. Kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun kekuasaan eksekutif, dalam pelaksanaannya kewenangan dan tugasnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
2. Pembentukan Dewan Pengawas. Dalam hal ini, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diawasi oleh Dewan Pengawas. Dewan ini berjumlah lima orang yang memegang jabatan selama 4 tahun.
Lembaga non struktural ini memiliki tugas diantaranya memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, atau penyitaan, menetapkan kode etik bagi pimpinan dan pegawai KPK serta mengawasi KPK.
3. Pelaksanaan Penyadapan. Dalam hal ini, penyadapan yang dilakukan oleh KPK bisa dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Selain itu, penyadapan dilakukan paling lama selama 6 bulan serta harus dilaporkan jika telah rampung kepada pimpinan KPK.
4. Mekanisme penghentian penyidikan dan atau penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK. Dalam hal ini, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun.
Penghentian penyidikan dan penuntutan harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas KPK dan diumumkan kepada publik. Penghentian penyidikan dan penuntutan oleh KPK dapat dicabut kembali apabila ditemukan bukti baru atau berdasarkan putusan praperadilan.
5. Koordinasi kelembagaan KPK dengan lembaga penegak hukum lainnya yang ada sesuai dengan Kitab Hukum Acara Pidana, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi.
6. Mekanisme penggeledahan dan penyitaan. Dalam hal ini, proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas. Sedangkan izin diberikan paling lama 1 x 24 jam oleh Dewan Pengawas.
7. Sistem kepegawaian KPK. Dalam hal ini, pegawai KPK adalah aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada peraturan perundang-undangan.