Rakhine, Gatra.com - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan, etnis Rohingya yang masih tersisa di negara bagian Rakhine, Myanmar menghadapi "risiko serius" terhadap genosida. PBB juga mengatakan, pemulangan satu juta masyarakat Rohingya lainnya yang telah diusir dari Myanmar tidak mungkin terjadi.
Laporan misi pencarian fakta yang dirilis PBB pada hari Senin (16/9) menyerukan jenderal-jenderal penting Myanmar, terutama panglima militer Min Aung Hlaing untuk diadili atas kasus pelanggaran HAM berupa pembunuhan, pemerkosaan, hingga pembakaran selama penumpasan etnis Rohingya.
Misi pencarian fakta tersebut dibentuk Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Maret 2017. PBB menyatakan, di tahun 2017 masyarakat Rohingya sudah terancam dengan upaya genosida.
Sekitar 600.000 etnis Rohingya hidup dalam kondisi "menyedihkan" di negara bagian Rakhine, tunduk pada pembatasan gerakan yang menyentuh hampir setiap aspek kehidupan mereka, kata laporan itu, dilansir Aljazeera, Selasa (17/9).
"Pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, dan pelanggaran HAM berat lain masih dilakukan militer Myanmar dan otoritas pemerintah di negara itu. Tapi Myanmar terus menyembunyikan niat genosida itu, dan Rohingya tetap terancam dari risiko serius genosida," kata para peneliti dalam laporan mereka, yang akan disampaikan kepada Dewan HAM PBB di Jenewa, hari ini, Selasa (17/9).
Myanmar telah berulang kali membantah temuan dari para penyelidik PBB di tahun 2018, dan belum menanggapi laporan terbaru itu.
Sekitar 740.000 masyarakat Rohingya melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh, setelah mengalami penyiksaan oleh pasukan militer Myanmar dan kelompok lain yang dimulai pada Agustus 2017.
Rohingya yang melarikan diri kemudian bergabung dengan sekitar 300.000 orang Rohingya lain di Bangladesh selatan, yang sekarang menjadi kamp pengungsi terbesar di dunia.
Bangladesh dan Myanmar pernah menandatangani perjanjian pemulangan etnis Rohingya dua tahun lalu, tetapi sebenarnya tidak ada pengungsi Rohingya yang kembali karena ketakutan menerima kekerasan lagi di negaranya.
Etnis Rohingya yang mayoritas Muslim telah tinggal di Myanmar selama beberapa dekade, namun pemerintah memandang mereka sebagai "imigran ilegal." Undang-Undang tahun 1982 di Myanmar telah menolak tegas kewarganegaraan mereka.
Pelapor Khusus PBB bernama Yanghee Lee mengatakan Myanmar "tidak melakukan apapun" untuk menghentikan kekerasan dan penganiayaan etnis Rohingya.
Namun juru bicara militer Myanmar, Brigadir Jenderal Zaw Min Tun menolak temuan tim PBB, dan menyebut PBB menuduh secara "sepihak."
"PBB telah membuat tuduhan yang bias, mereka harus turun ke jalan untuk melihat kenyataan," katanya. Tapi faktanya, para penyelidik pencari fakta PBB tidak pernah diberikan izin untuk memasuki Myanmar atau mengakses Rakhine.
Bulan lalu, sekitar 200.000 etnis Rohingya mengadakan peringatan "Hari Genosida" di Cox's Bazar, Bangladesh untuk memperingati dua tahun penumpasan di Myanmar.