Jakarta, Gatra.com - Sebagai pihak yang berwenang melakukan penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan (karhutla), Polri tetap mengedepankan proses pencegahan. Sebab, penegakan hukum merupakan ultimum remidium, atau jalan terakhir yang diberikan jika penegak hukum sudah tidak bisa memberikan sanksi lain.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan upaya pencegahan justru dilakukan dengan mengubah budaya serta mindset atau pola pikir masyarakat. Menurut Dedi, masyarakat masih menggunakan cara tradisional membuka lahan dengan cara dibakar.
"Bagaimana mengubah budaya, mindset masyarakat yang sudah terbiasa melakukan land clearing dengan cara membakar, harus diubah polanya dengan cara yang ramah lingkungan. Kalau imbauan, sosialisasi, penegakan hukum itu setiap tahun (dilakukan)," kata Dedi di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (16/9).
Terkait penegakan hukum, Dedi menjelaskan setiap tahunnya pelaku pembakaran hutan ditangkap dengan jumlah yang berbeda. Pada 2015, polisi menangkap 281 tersangka individu dan tiga tersangka korporasi. Sedangkan 2016, ada 277 tersangka individu beserta dua korporasi.
Sementara itu, pada 2017, polisi menangkap 27 tersangka individu saja dan pada 2018 polisi menahan 66 tersangka individu. Angka yang fluktuatif itu, kata Dedi, dikarenakan pola iklim yang berbeda tiap lima tahun sekali.
"Pada 2015 ini terjadi kebakaran cukup besar. Karena tingkat kekeringannya cukup panjang. Rata-rata (kebakaran terjadi dalam) iklim el nino, iklim yg kering. Kalau la nina stok air di lahan gambut masih ada," terang Dedi.