Home Politik Tiga Pimpinan KPK Serahkan Mandat, Presiden Harus Tunjuk Plt

Tiga Pimpinan KPK Serahkan Mandat, Presiden Harus Tunjuk Plt

Purwokerto, Gatra.com - Guru Besar Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, Prof Dr Hibnu Nugroho SH MHum menilai, penyerahan mandat tiga komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdampak pada kekosongan pimpinan lembaga.

Presiden Joko Widodo seharusnya menunjuk pelaksana tugas (Plt) atau segera melantik pimpinan terpilih. Menurut dia, respon para komisioner yang mengembalikan mandat ini perlu diwaspadai. Kekosongan posisi pimpinan tentu berbahaya bagi lembaga tersebut.

"Secara teori, argumen Mahfud MD terkait tidak bisa mengembalikan mandat itu benar, tidak bisa dikembalikan. Tapi, secara fakta saat ini terjadi kekosongan dan ini akan menimbulkan masalah baru," kata Hibnu ketika dihubungi Senin (16/9).

Masalah yang akan muncul, imbuh Hibnu, di antaranya semua tindakan hukum yang dilakukan oleh KPK berpotensi untuk dipraperadilankan. Kasus korupsi yang sedang ditangani juga terbengkalai.

Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Unsoed ini menilai, Presiden Jokowi harus menyelamatkan lembaga KPK dari masalah-masalah tersebut. Sebab, langkah ketiga pimpinan tidak sesuai dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 yang menyebutkan bahwa pimpinan KPK terdiri dari lima orang.

"Presiden harus cepat tanggap selamatkan lembaga. Segera tetapkan pelaksana tugas atau lantik yang sudah terpilih saat ini. Meskipun Irjen Firli dianggap cacat," ujarnya.

Hibnu juga menilai pidato Presiden Joko Widodo terkait revisi Undang-Undang adalah omong kosong belaka. Sebab, wacana penambahan dewan pengawas justru menjadi titik pelemahan lembaga anti rasuah itu.

Selain itu, Surpres terkait revisi UU KPK ini mengindikasikan posisi Jokowi semakin terdesak akibat minimnya dukungan dari orang-orang yang selama ini menyokongnya. Seharusnya Presiden dapat membuat Surpres untuk menarik revisi UU KPK dan tidak mengirimkan wakilnya.

"Menkunham harus ditarik. Itu selesai dan revisi (undang-undang KPK) tidak jadi. Sebetulnya Presiden ini kepepet. Ada kekuatan dari DPR atau parpol yang menghendaki adanya pengawasan ini. Sebelumnya memang pernah terjadi, tapi ini tsunami politiknya lebih besar," ujarnya.

Hibnu menjelaskan, konstruksi organisasi maupun unsur hukum dewan pengawas ini masih belum jelas. Selain itu, alur kelembagaan menjadi lebih birokratis dan berbelit.

"Ini (sebetulnya) pelemahan (KPK). Ada penambahan dewan pengawas rupanya hanya menambah panjang administrasi dan perijinan. Bicara hukum, penindakan itu bicara kecepatan untuk menemukan bukti dan mendapatkan suatu informasi. Kalau alurnya terlalu panjang, pelaku (korupsi) keburu kabur," ucapnya.

257