Ketika Arab Saudi bersiap-siap menjual saham perusahaan minyaknya, serangan drone pemberontak Houthi Yaman mengganggu kepercayaan konsumen. Bagaimann respon Arab Saudi Selanjutnya?
Ketika belasan bankir dari Citigroup Inc. sampai JPMorgan Chase & Co.merundingkan rencana initial public offering (IPO) Aramco di hotel Ritz Carlton Dubai, serangan drone dipersiapkan dan dilaksanakan jelang subuh akhir pekan lalu. Akibat serangan itu, Arab Saudi kehilangan sekitar separuh ekspor minyaknya. Dan ada kemungkinan berdampak menyusutnya valuasi Aramco.
Sekitar sepuluh drone penuh peledak menghantam kilang minyak Abqaig dan ladang minyak Khurais, sesaat sebelum fajar, Sabtu (14/9). Abqaiq, kilang minyak terbesar di dunia yang mengolah minyak mentah yang dihasilkan ladang minyak Ghawar. Reuters menyebut, Arab Saudi kehilangan ekspor 5,7 juta barrel perhari, menyebabkan pasokan minyak dunia berkurang 5 persen. Senin (16/9) harga minyak melesat naik menjadi USD 71/barrel, dari sebelumnya USD 60/barrel.
Pemerintah Saudi menargetkan sepertiga dari jumlah yang hilang itu harus bisa dipulihkan pada awal pekan ini. Untuk menunjukkan kemampuan perusahaan minyak negara itu secara efektif menangkal terorisme ataupun perang . Namun para analis menduga untuk pulih 100 persen butuh waktu beberapa minggu. Sebelum serangan, Arab Saudi menghasilkan sekitar 10 persen dari total pasokan minyak global 100 juta barel per hari.
Namun yang paling terpukul adalah rasa aman para investor yang berminat pada IPO Aramco.Para investor internasional akan berhitung ulang dan valuasi perusahaan migas terbesar didunia ini mungkin tidak seperti yang diharapkan.
Pangeran mahkota Mohammad bin Salman , penggagas dan pendorong utama IPO berharap penjualan saham perdahan ini bisa menghasilkan USD 2 triliun. Banyak yang skeptis dengan angka itu, dan memperkirakan angka yang lebih rasional ada di kisaran USD 1,5 triliun. Jika Aramco terus menjadi target serangan, beberapa pejabat dan penasihat Saudi mengatakan pasar mungkin perlu diskon lebih lanjut sebanyak $ 300 miliar seperti dikutip laman Wall Street Journal, Senin (16/9).
"Serangan ini akan memperumit rencana IPO Aramco," kata analis Ayham Kamel, kepala riset Timur Tengah dan Afrika Utara di Eurasia Group seperti dikutip Bloomberg. “Menilai Aramco seperti Shell atau ExxonMobil memberi kita sekitar USD 1,2-1,4 triliun. Tetapi nilai itu akan turun secara signifikan jika kita menerapkan faktor risiko khusus perusahaan,” tambah Robin Mills dari Qamar Energy.
Soal valuasi Aramco ini menjadi perhatian sejak lama. Untuk mendongkrak valuasi Aramco, idealnya harga minyak harus lebih tinggi dari posisi saat ini. Masalahnya, kontrol harga bukan sekedar faktor supply and demand tapi lebih banyak faktor spekulasi pelemahan permintaan di masa depan dan oleh kekhawatiran resesi global dan perang perdagangan AS-Cina. Faktor-faktor yang tidak bisa dikendalikan Riyadh.
Baru saja pemerintah Arab Saudi mendorong kembali rencana IPO. Menteri Perminyakan sekaligus chairman Aramco Khalid al Falih, yang kabarnya tidak pernah antusias dengan rencana IPO Aramco, digantikan oleh Pangeran Abdulaziz bin Salman pada pekan pertama September ini. Khalid al Falih yang ditunjuk pada Mei 2016 adalah arsitek kerjasama OPEC dan negara penghasil minyak diluar OPEC termasuk Russia . Kerjasama berdurasi tiga tahun ini berhasil meningkatkan harga minyak dari level USD 26/barrel pada awal 2016 hinga rekor tertinggi USD 75/barrel pada Oktober 2018. Namun masih di bawah USD 80- USD 85 yang dibutuhkan Arab Saudi untuk menyeimbangkan anggarannya.
Manajemen Aramco sudah menunjuk bankir untuk memberi nasihat tentang IPO. CEO Aramco Amin Nasser mengatakan kepada wartawan bahwa perusahaan itu siap untuk mendaftar segera. "Seperti yang Anda dengar dari Yang Mulia Pangeran Abdulaziz kemarin, itu akan segera jadi, kami siap, itulah intinya," kata Nasser kepada wartawan sebelum serangan akhir pekan.
Kini semua jadi berantakan. Pejabat dan penasihat minyak Saudi sekarang khawatir bahwa investor potensial untuk suksesnya IPO menjadi gelisah terhadap resiko bisnis jangka panjang.
Dalam perkembangannya, pejabat Arab Saudi mempertimbangkan menunda rencana melepas saham perdana Aramco kepada publik seperti dilaporkan Wall Street Journal Senin (16/9), mengutip pejabat setempat yang mengetahui masalah tersebut.
Menurut laporan itu, pejabat energi Saudi dan eksekutif Aramco sedang mendiskusikan apakah akan menjadwal ulang penawaran umum perdana (IPO) sampai setelah produksi sepenuhnya dikembalikan ke tingkat normal.
- Rosyid-
Skenario Serangan Houthi Terhadap Fasilitas Migas Arab Saudi.
Skenario 1: pesawat tak berawak harus terbang lebih dari 1.000 kilometer dari wilayah yang dikuasai Houthi di Yaman barat laut melintasi Arab Saudi untuk mencapai target mereka di Abqaiq.
Skenario 2: Rute lain dimulai di timur laut Yaman dekat perbatasan dengan Oman dan melakukan perjalanan ke utara melalui daerah yang dekat dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Qatar sebelum mereka dapat mengirimkan proyektil bahan peledak.
Skenario 3: Skenario lain, serangan diluncurkan dari Irak selatan, yang lebih dekat dengan Abqaiq dan Khura. Wilayah itu tempat operasi Pasukan Mobilisasi Populer (PMF, atau Hashd al-Shaabi) yang didukung Iran. Skenario ini muncul karena kurangnya akses Houthi ke sistem serangan udara canggih seperti itu, jarak geografis yang luas dari titik keberangkatan ke tujuan yang dimaksud, dan terakhir benteng pertahanan udara yang kuat sepanjang rute yang diduga jadi alur penerbangan drone.
Serangan pesawat tak berawak Sabtu adalah yang paling berani sampai saat ini di infrastruktur minyak kerajaan dan mengungkapkan kerentanan jaringan produksi minyak Arab Saudi. Sebelumnya Houthi melancarkan serangan terhadap jaringan Pipa Barat-Timur yang penting secara strategis ke Laut Merah (Mei 2019), diikuti serangan terhadap ladang Shaybah (Agustus). Ladang minyak Shaybah menghasilkan sekitar satu juta barel minyak per hari.
Sumber: al Jazeera.com dan sumber lainnya